Pilpres 2014: Perang Elit Pemodal Bukan Perang nya Rakyat! — Bag 2
Menguliti ‘Ketegasan Prabowo’Disisi lain, fenomenalitas Prabowo lahir saat dirinya berlagak radikal dengan mendengungkan program nasionalisasi aset-aset tambang dan moratorium hutang luar negeri dalam kampanye pemilu tahun 2009 lalu. Program ini tentu harus dikatakan baik bagi kemandirian nasional yang selama ini sudah digadaikan oleh SBY (dan pemerintahan sejak Soeharto). Namun dari iklan-iklan nya yang bertema ‘mengembalikan kejayaan Indonesia’, lahir pertanyaan: Sudah pernah kah rupanya Indonesia berjaya?
Dengan tema itu, yang tersirat dari nasionalisasi ala Prabowo justru mengarah pada masa seperti orde baru dimana Indonesia masih memiliki ratusan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang berada dibawah kendali Soeharto. Nasionalisasi yang demikian hanya akan menjamin lahirnya konglomerasi baru pribumi layaknya konglomerasi cendana di jaman Soeharto dan sama sekali tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Namun untung nya, kebohongan program (nasionalisasi) ini akhirnya dibongkar sendiri oleh Prabowo. Ketika mendapat gertakan SBY, Prabowo berkilah yang dimaksudnya bukan nasionalisasi, melainkan renegosiasi kontrak yang menguntungkan Indonesia [13].
‘Pengembalian kejayaan Indonesia’ sendiri seraya membuka lebih dalam tabir pemikiran Prabowo yang berkali-kali disampaikan, termasuk saat debat capres perdana yang lalu. Prabowo berujar bahwa ‘demokrasi hanya alat/anak tangga untuk kemakmuran, dan bukan tujuan’. Dan ini sebenarnya bukan cuma kata-kata yang asal terucap, tetapi tercantum pula dalam manifesto partai Gerindra yang ikut dibidani Prabowo. Manifesto tersebut menyebutkan: “Terkait dengan pelaksaan demokrasi yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah menghadapi pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau kebebasan yang sebebas-bebasnya. Menghadapi pilihan itu, Partai Gerindra akan mengutamakan kemakmuran rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan hanya merupakan salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan bernegara adalah kemakmuran rakyat.” [14]
Pernyataan itu mengingatkan kita bukan hanya kepada Soeharto, tetapi juga Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura) yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membungkam demokrasi dan kebebasan. Kesesatan manifesto ini adalah dengan mempertentangkan secara tak berdasar antara demokrasi dan kemakmuran/kesejahteraan, agar seolah-olah ada yang harus dipilih oleh rakyat. Sehingga kita perlu bertanya, dapatkah kesejahteraan dicapai tanpa demokrasi dan kebebasan?
Di pabrik-pabrik tempat dimana pelanggaran hak buruh terjadi, kesejahteraan yang secuil pun hanya bisa didapatkan dari berorganisasi nya buruh dalam serikat buruh lalu berjuang. Kita tidak dapat menyangkal itu adalah bagian dari demokrasi. Namun lebih dari itu. Kita bisa saja mendapat makanan dan minuman berkualitas sehari-hari, memiliki rumah layak, jaminan hidup hari tua, dsb yang bersifat fisik/ekonomi. Tapi apa jadinya jika kita tidak bebas keluar rumah dan berkumpul bersama teman dan kerabat kita? Apa jadinya jika kita tidak bebas mengeluarkan pendapat dan suara kita terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kita? Tidak bebas mengekspresikan nilai seni dan budaya kita? Hal ini sedikit menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan bukan hanya alat untuk melahirkan kesejahteraan, tetapi bahkan bagian dari kesejahteraan itu sendiri.
Kita mungkin masih bisa bersetuju jika kebebasan yang dibatasi demi kemakmuran seluruh rakyat adalah untuk mereka yang oleh karena kepemilikan dan kekayaannya ‘bebas menguasai tanah dan alam Indonesia’ yang pada hakikatnya milik seluruh rakyat untuk digunakan bagi kepentingan seluruh rakyat. Artinya membatasi kebebasan minoritas kelas pemodal dalam menggunakan kekayaannya. Tapi mari kita masuk lebih dalam, apakah itu yang sedang Prabowo maksud.
Dalam debat capres kemarin, Prabowo memberi pernyataan yang sempat menyinggung ‘pembatasan’ walau pada akhirnya retorik dan absurd. Begini katanya: “kebijakan investasi kami terbuka, kami mendukung investasi asing tapi tentunya tidak boleh mematikan ekonomi rakyat, harus kita perkuat koperasi harus kita perkuat usaha kecil dan menengah dan untuk itu kita harus mengalirkan dana yang lebih yang masif yang tidak tangung-tanggung untuk memperkuat ekonomi rakyat ini.”[15]
Sebagai seorang yang kerakyatan mungkin terdengar sedikit indah. Namun Prabowo sudah merasa pro-rakyat tanpa harus merinci lagi pernyataan nya pada: investasi asing seperti apa yang tidak mematikan ekonomi rakyat itu? Ekonomi seperti apa ekonomi rakyat itu? Bukankah hampir semua pertambangan di Indonesia menggusur ekonomi/pertanian rakyat? Jika koperasi dan UKM yang dimaksud sebagai ekonomi rakyat, koperasi dan UKM seperti apa yang sanggup menghidupi rakyat? Apakah koperasi penyalur kredit berbunga (tinggi) bagi petani dan pedagang kecil seperti yang menjamur di era SBY? Semuanya gelap. Dalam kegelapan ini, masuk lagi slogan memperkuat ekonomi rakyat dengan aliran dana massif dari negara. Tapi untuk apa dana ini? Mendorong perkembangan UMKM? Kalau didorong menjadi berdaya saing, untuk apa lagi investasi (asing)? Masih juga gelap.
Kegelapan ini bukti kalau Prabowo memang sedang beretorika. Sekaligus tanda kalau ‘ekonomi rakyat’, yakni ekonomi yang benar-benar ‘dimiliki dan digerakkan oleh rakyat’ sebenarnya bertentangan dengan investasi (asing) yang dimiliki para pemodal besar. Retorika itu menjadi absurd ketika Prabowo juga menyetujui MP3EI yang memberi karpet merah bagi investor asing [16]. Sama absurdnya saat Prabowo berjanji menghapus outsourcing tetapi memiliki perusahaan jasa outsourcing[17].
Tapi masih ada masalah lain dengan pernyataan Prabowo. Dengan mengatakan ‘investasi asing’, Prabowo seakan ingin membedakannya dengan investasi swasta nasional atau BUMN yang mungkin ‘boleh mematikan ekonomi rakyat karena untuk kepentingan nasional’. Tapi apakah kepentingan nasional sama dengan kepentingan rakyat? Apakah modal memiliki nasionalisme? Disini Prabowo seakan ingin menghindar dari kenyataan bahwa modal akan ditanam ditempat dimana ia dapat tumbuh subur, tak peduli lokasi negaranya. Keberadaan investasi asing di Indonesia merupakan bukti itu. Meluas dan berkembang nya investasi asal Indonesia di luar negeri (seperti yang juga dimiliki Prabowo) adalah bukti lainnya [18].
Modal swasta nasional maupun BUMN tidak lebih mensejahterakan rakyat dibanding modal asing karena ia memiliki kehendak yang sama, yakni akumulasi/pelipatgandaan modal. BUMN masih ‘lebih mensejahterakan’ karena dapat menyumbang dividen bagi negara. Tapi itu hanya dengan catatan dividen tersebut mengalir pada seluruh rakyat. Namun pengalaman era Soeharto justru menunjukkan kebalikannya. BUMN justru lebih sering menggerogoti anggaran negara karena ‘dirugikan sendiri’ oleh para elit demi kepentingan pribadi mereka, dan rakyat juga yang harus menanggung kerugiannya. Pengalaman telah mengajarkan rakyat untuk tetap waspada pada negara sebelum negara adalah rakyat itu sendiri.
Ditengah persaingan, tingkat akumulasi sangat ditentukan oleh kemampuan meminimalisir biaya produksi dengan berbagai macam jurus, termasuk ‘nasionalisme sempit’. Pemodal Indonesia yang memberi upah dibawah KHL (harus) tetap lebih buruk dibanding pemodal asing yang menetapkan standar tinggi terhadap kesejahteraan buruh. Walaupun kita tidak berdiri diatas garis hitam-putih seperti itu, tapi perlu menekankan bahwa hidup layak tidak bisa diganti dengan garuda merah atau bendera merah putih. Pemodal Indonesia sudah cukup sering mempermainkan rakyat atas sentimen nasional itu demi kepentingan bisnis mereka. Maka ketika Prabowo melanjutkan retorika nya dengan ingin membuka lahan pertanian 2 juta hektar hasil dari konversi hutan rusak, pertanyaan nya: bagaimana memastikan lahan pertanian baru (yang berguna bagi ketahanan pangan nasional) tersebut juga berguna bagi kemakmuran seluruh rakyat jika tidak ada kontrol rakyat yang menjamin kemakmuran? Jika tidak demikian, bentuk-bentuk kerja paksa seperti di jaman Jepang dapat saja terulang karena menganggap Jepang pelindung Asia. Padahal sejarah sudah berkata lain.
Dicelah slogan nasionalisme dan kerakyatan ini lah puluhan perusahaan milik Prabowo yang bergerak dibidang kehutanan/perkebunan maupun pertambangan sedang mengintip peluang [19]. Oleh karena nya, pembatasan kebebasan yang lebih mungkin dari pernyataan Prabowo hanyalah kebebasan modal asing untuk kemudian digantikan dengan kebebasan modal swasta nasional. Pembatasan kebebasan terhadap minoritas kelas pemodal adalah utopis dilakukan Prabowo karena dirinya (dan adiknya Hashim, juga rekan-rekan koalisinya) adalah juga bagian dari minoritas itu. Bagaimana mungkin Prabowo membatasi modalnya sendiri ditengah persaingan antar modal yang bersifat global? Maka dari itu, pembatasan kebebasan yang dimaksud Prabowo lebih mungkin lagi adalah kebebasan rakyat itu sendiri.
Jika demikian, Prabowo gagal mengerti akan kebutuhan vital demokrasi dan kebebasan bagi rakyat. Itu adalah dampak dari basis kelas Prabowo yang juga merupakan pemodal. Dirinya menganggap penting kebebasan berusaha bagi dirinya, tapi tidak menganggap penting kebebasan rakyat untuk memastikan kemakmurannya. Tak heran ketika ditanya tentang cita-citanya, Prabowo menjawab “mimpi saya adalah rakyat kecil bisa tertawa”[20]. Mungkin terdengar sangat manusiawi dan bersahaja. Namun sebenarnya disini tersirat bahwa bagi Prabowo kesejahteraan rakyat adalah hasil belas kasihan (yang pasti ada batasnya) dari elit-elit seperti dirinya atau sekutunya Abu Rizal Bakrie yang bertanggung jawab menenggelamkan sebagian Sidoarjo dengan lumpur dan berdampak air mata rakyat. Disini juga tersirat Prabowo senang untuk membedakan antara ‘rakyat kecil’ dan ‘rakyat besar’, yang mana kesejahteraan rakyat kecil (harus) merupakan peran dari rakyat besar yang memberi belas-kasih nya. Ini mengisyaratkan bahwa jika ‘rakyat besar’ mengalami kesulitan karena krisis, stres, atau marah karena rakyat kecil sulit diatur, maka rakyat kecil juga layak mendapat hukuman lewat pencabutan belas-kasih tersebut. Mirip seperti hubungan antara raja dan hamba.
Satu kebenaran Prabowo mungkin adalah mengenai kebocoran kekayaan negara yang memang harus diatasi. Tapi Prabowo sama sekali tidak menjelaskan letak kebocoran dan cara mengatasi kebocoran itu. Seakan-akan kebocoran itu sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa skema, tanpa perencanaan dan tanpa pihak yang bertanggung jawab. Disaat yang sama Prabowo justru merangkul pihak yang paling bertanggung jawab membuat kebocoran (atau lebih tepatnya pembocoran), yaitu bagian dari pemerintah SBY sendiri yakni Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Cawapres nya. Terang saja Hatta langsung berkelit dengan mengatakan yang dimaksud Prabowo itu hanya potensi kebocoran [21]. Kekacauan misi langsung terasa dalam pasangan ini. Kekacauan lain yang juga terdapat pada Prabowo adalah ketika dirinya ingin menyerupai gaya Soekarno (hingga TV One sering menyandingkannya) tetapi disisi yang lain juga ingin memberi gelar pahlawan pada Soeharto yang pro imperialis dan ‘menggulingkan’ Soekarno. Ini telah menjadi awal mula dari ketidakkonsistenan Prabowo pada kata-katanya yang boombastik.
Sebelum terjun ke gelanggang politik, Prabowo yang juga merupakan tentara (kopasus) memimpin tim mawar dalam menculik beberapa aktivis sebelum kejatuhan Soeharto [22]. Kita dapat saja keluar dari kesimpulan bahwa Prabowo adalah dalang dari hilangnya puluhan aktivis 98 dengan asumsi ada tim lain yang menculiknya. Tapi pertanyaannya, atas perintah/komando siapakah penculikan yang dilakukannya? Dapatkah ia sebagai komandan kopasus memiliki insiatif ini? Dalam debat capres perdana, Prabowo berkelit dengan jawaban “tanya atasan saya”. Bahkan dalam penjelasan nya saat itu, Prabowo berkeras penculikan yang dilakukannya adalah untuk keselamatan negara dan keselamatan rakyat yang tidak berdosa. Dari posisi nya dalam reformasi, hampir pasti yang dimaksud Prabowo sebagai ‘negara’ adalah Soeharto itu sendiri. Dan yang dimaksud sebagai ‘rakyat tidak berdosa’ adalah rakyat yang tidak ikut menurunkan Soeharto. Namun, dengan menyerahkan kebenaran pada atasannya di masa lalu (siapapun yang dimaksud), Prabowo sudah gagal dari awal menjadi orang yang tegas terhadap kebenaran. Mungkin bagi Prabowo urusan menjelma menjadi Soekarno atau Soeharto, urusan benar atau salah adalah urusan nanti, yang terpenting berkuasa dulu. Dan bagi anda pendukung Prabowo, siap-siap lah untuk kecewa.
Menyinggung orde baru, kini menjadi penting bagi kita untuk melihat kembali ke belakang. Massif nya propaganda “piye kabare, enak jaman ku to?” yang mencoba merekonstruksi figur Soeharto dan orde baru sedikit banyak telah menyeret persepsi rakyat tentang lebih enak nya jaman orde baru dibandingkan sekarang. Tidak penting mengetahui siapa yang menyebarkannya, karena partai Golkar sebagai partai penguasa saat itu, dalam setiap kampanye sudah terang-terangan pula mengatakan ingin membawa rakyat kembali pada jaman orde baru. Dan dalam pemilu 9 April lalu, Golkar masih mendapat suara berkisar 15% secara nasional. Sejarah pun dituntut berbuat lebih banyak terhadap ingatan rakyat.
Membongkar Mitos Orde Baru
Salah satu opini yang coba dibangun tentang orde baru adalah kondisi dimana semua harga murah dan rakyat sejahtera. Sehingga pesannya, walau seorang pemimpin/penguasa bertindak otoriter, lumrah adanya jika itu untuk kesejahteraan rakyat. Namun jika dikaji lebih dalam, hal ini semata-mata hanya mitos.
Sedari awal saja, orde baru sudah dibangun dari jutaan nyawa manusia yang dibantai pada tahun 1965-1966. Dan seketika itu pula modal-modal asing (imperialisme) diberi karpet merah oleh Soeharto. Padahal sejarah mengatakan, golongan-golongan yang dibantai itu juga lah golongan yang konsisten berhadapan dengan Imperialisme. Oleh karenanya orde baru dapat dilihat sebagai suatu interupsi dan pembalikan sejarah atas revolusi kemerdekaan yang dilakukan golongan-golongan oportunis yang ‘menjual’ kemerdekaan demi kepentingan Imperialis.
Rejim Soekarno memang meninggalkan tingkat kemiskinan yang tergolong parah, yakni lebih dari 40% penduduk [23]. Ini disebabkan situasi internasional (perang dingin) yang mengepung Indonesia dan faktor-faktor internal sendiri seperti kerusakan infrastruktur pasca perang kemerdekaan, pemberontakan daerah dan juga kepemimpinan nasional saat itu yang membuat kekuatan produktif masyarakat tidak sanggup ditingkatkan dengan segera. Walaupun ‘poros baru’ negara-negara bekas jajahan berhasil dibangun oleh Soekarno, namun belum ada strategi bersama dari negara-negara tersebut dalam meningkatkan kekuatan produksi bersama nya untuk mencapai suatu tingkat yang sanggup mensejahterakan rakyat di masing-masing negara.
Konon pemerintah Soekarno pun cenderung moderat dengan tidak segera melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset Hindia Belanda yang dapat dipakai sebagai sumber keuangan negara. Bahkan Soekarno juga sempat terjebak dalam hutang IMF dan IBRD pada tahun 1953 (walaupun kemudian menarik diri dari keanggotaannya pada awal 1966) [24]. Dan akhirnya Soekarno terlambat melakukan ‘banting stir’ melanjutkan revolusi, karena ekonomi rakyat sudah lama tertekan, sedangkan kekuatan pro-imperialis sudah bersarang di banyak sudut—khususnya di tubuh Angkatan Darat [25].
Berangkat dari situasi itu, orde baru yang bergandengan tangan dengan Amerika Serikat menjadikan modal asing sebagai tumpuan dari pembangunan. Konsekuensi nya orde baru juga meniadakan demokrasi khususnya bagi golongan anti-imperialis dengan pemberangusan dan pelarangan. Dengan itu juga arah revolusi kemerdekaan dibelokkan 180 derajat ke arah ‘penjajahan gaya baru’ atau yang disebut Soekarno sebagai Neo-kolonialisme. Setiap penentangan atas kebijakan pembangunan saat itu dihadapi dengan kekerasan yang telah memakan banyak korban.
Sampai dengan 1996, orde baru (secara formal) memang menurunkan angka kemiskinan menjadi 11% (masih dengan standar yang sama: 1 dolar/hari) [26]. Namun ini diperoleh dari tumpukan hutang yang meroket hingga 67,3 miliar dolar pada tahun 1998—dari hanya 2,3 miliar dolar tahun 1969 [27]. Belum lagi pengurasan sumber daya alam lewat HPH (Hak penguasaan hutan) dan kontrak-kontrak tambang kepada banyak pemodal (yang berada di lingkaran Soeharto). Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Soekarno. Ini juga yang akan dibayar dikemudian hari.
Turunnya angka kemiskinan dikatakan sebagai hal yang formal karena orde baru tidak memberi ruang bagi data selain dari BPS yang telah dicengkramnya. Konsekuensi statistik dari setiap reijm otoriter adalah sulitnya mendapatkan akurasi. Sebab tidak ada umpan-balik atau konfirmasi data pemerintah dari rakyat yang merasakan sendiri kemiskinannya. Semua berita adalah tentang kebaikan. Ketika berpikir dibatasi, kebenaran pun hanya menjadi milik pemerintah saat itu.
Sejarah baru bersuara saat krisis (kapitalisme) berlangsung tahun 1997-1998, sekaligus bayaran dari arah pembangunan (kapitalistik) dan apa yang ditumpuk oleh orde baru: hutang dan kejahatan kemanusiaannya. Reformasi sendiri setidaknya harus dimengerti dari dua segi yang saling berkait. Dia memang membuka pintu kebebasan dalam mengakses hak-hak sipil dan politik akibat meningkatnya kesadaran rakyat atas rejim otoriter yang menghambat perkembangan sosial politik masyarakat. Tetapi disisi lain, reformasi juga merupakan desakan ‘demokrasi ekonomi’ terhadap konglomerasi cendana yang memonopoli akses-akses bisnis nasional serta menumpuk hutang dan kredit konglomerat cendana dari BI yang masih dibawah kendali Soeharto [28]. Sialnya, meskipun menumpuk hutang (yang akhirnya dibebankan pada rakyat lewat pencabutan subsidi), perusahaan-perusahaan keluarga/kerabat Soeharto masih menjadi penguasa kekayaan Indonesia [29]. Oleh sebab itu, sejak letter of intent dengan IMF awal 1998 dan UU No.5/thn 1999 tentang larangan monopoli, reformasi telah menghadirkan ‘penumpang gelap’ demokrasi bernama ‘modal asing’ yang mendorong liberalisasi.
Namun reformasi tidak bersalah hanya karena modal asing atau liberalisasi ekonomi. Orde baru juga tidak lantas benar karena memberikan subsidi. Sebagai fakta, harga-harga yang meroket naik setelah reformasi juga dibarengi dengan naiknya pendapatan rakyat, yang salah satunya disebabkan oleh semakin bertumbuh nya organisasi rakyat dan dikenal nya aksi-aksi menuntut rakyat. Tentu rakyat tidak boleh cepat berpuas karena akan banyak masalah di depan hari yang tidak dapat diselesaikan para elit pemodal Indonesia selain membebankan pada rakyat.
Akan tetapi sekarang, ketika angka kemiskinan masih tergolong sama dengan angka kemiskinan paling rendah di era orde baru yang berkisar 11%–dengan standar yang sama [30], maka mengatakan orde baru lebih baik dari era reformasi adalah upaya memundurkan kesadaran rakyat. Tingkat kemiskinan orde baru yang hanya sedikit memunculkan keresahan rakyat (berikut gejolak politik dan perlawanan rakyat) adalah wujud dari kesadaran rakyat masa itu yang jauh terbelakang dibandingkan era sekarang. Jika dulu dengan memakan nasi-tempe setiap hari rakyat sudah menganggapnya sejahtera, sekarang rakyat sudah sadar itu bentuk kemiskinan. Jika dulu tanpa memakai handphone adalah biasa, sekarang rakyat sudah sadar handphone suatu kebutuhan. Lebih jauh lagi, tingkat pemikiran dan kesadaran rakyat yang berkembang pasca reformasi pun tidak dapat diukur hanya dengan kemiskinan fisik semata.
Dengan itu berarti, anggapan bahwa orde baru lebih enak dibanding jaman reformasi sekarang tidak lain merupakan upaya menurunkan standar-standar kemajuan masyarakat dan memundurkan kesadaran rakyat itu sendiri. Hal ini tentunya umum dilakukan kelas pemodal yang tidak sanggup lagi membawa kemajuan-kemajuan pada masyarakat akibat sistem (kapitalisme) yang dipertahankannya sendiri. Sehingga ketika kita dihadapkan pada pertanyaan ‘piye kabare enak jaman ku to?’, kita harus tegas mengatakan: “Tidak! kami ingin maju!”
Bersambung..
Oleh: Kibar, Anggota KPO PRP
Read more at http://www.arahjuang.com/2014/06/19/pilpres-2014-perang-elit-pemodal-bukan-perang-nya-rakyat-bag-2/#sAtQ2bfoF2ujG2OX.99