Makalah Fiqih Muamalah (Syirkah, Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah)
MATA KULIAH MATERI FIQIH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Islam
adalah agama yang sempurna, kesempurnaan ini tercerminkan ketentuan-ketentuan
hukum Islam yang mengatur disemua lini kehidupan manusia, mulai dari persoalan
ibadah, munakahat hingga muamalah semuanya tidak lepas dari sentuhan hukum
Islam.
Produk
hukum Islam menjelaskan detil terperinci dari suatu permasalahan yang ada dalam
kehidupan, semua itu bersumber dari dalil yang jelas, yakni Al-Qur’an dan
al-hadits.
1.2.
Rumusan Masalah
1)
Jelaskan tentang
syirkah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
2)
Jelaskan tentang
mudharabah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
3)
Jelaskan tentang
musaqah dan hal-hal yang berkaitan dengannya!.
4)
Jelaskan tentang
muzara’ah dan mukhabara serta hal-hal yang berkaitan dengannya!.
1.3.
Tujuan Penulisan
Yaitu
untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang fiqih muamalah, khususnya
tentang syirkah, mudharabah, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Syirkah
2.1.1. Definisi dan Dasar Hukum
Menurut bahasa, syirkah
berarti perhimpunan (serikat / persekutuan), sedangkan menurut syara’ yaitu
Ákad yang menuntut adanya kepastian suatu hak milik dua orang atau lebih untuk
suatu tujuan dengan sistem bagi untung rugi secara merata.
Dasar hukum syirkah
yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya: “...Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.....”
(QS. An-Nisaa’: 12)
Dan hadits qudsi Allah
berfirman:
َنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ
اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
“Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari
mereka tidak menciderai rekannya. Ketika dia menciderai rakannya, Aku keluar
dari persekutuan di antara mereka berdua”. (HR.
Abu Daud dan Al-Hakim).
2.1.2. Persyaratan Akad, rukun dan Macam-Macam
Syirkah
Akad syirkah atau
serikat sah hukumnya apabila di adakan oleh para pihak telah baligh, berakal
dan waras.
Rukun syirkah ada
empat, yaitu sighat, pihak yang berakad, kekayaan dan pekerjaan.
Syirkah terdiri atas
empat macam, yaitu:
1)
Serikat yang
berkenaan dengan badan atau pekerjaan
Yaitu
persekutuan dari para pemilik pekerjaan, dengan kesepakatan bahwa hasil dari
pekerjaan yang dilakukan mereka menjadi milik mereka secara merata, baik mereka
melakukan pekerjaan yang sama atau tidak. Misalnya, kerjasama antara kuli
angkut dalam memborong suatu pekerjaan yang upahnya akan dibagi rata.
Menurut
ulama Syafi’iyah hukum serikat semacam ini batal, karena tidak ada modal yang
dihimpun didalamnya, dan ada unsur tindak penipuan. Sebab masing-masing pihak
tidak mengetahui rekanannya menghasilkan keuntungan atau tidak.
2)
Serikat Dagang
Yaitu
serikat dengan ketentuan para pemilik saham memiliki hak dan kewajiban yang
sama, atau persekutuan beberapa orang dengan menerima hasil dan tanggung jawab
secara bersama-sama. Misalnya, barang yang dighashab (rampas). Serikat semacam
ini menurut ulama Syafi’iyah hukumnya juga batal, karena didalamnya ada
kemungkinan terjadinya penipuan.
Sementara
itu, ulama Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkannya, karena serikat semacam
ini hampir sama dengan mudharabah.
3)
Serikat Wujuh
Yaitu
persekutuan yang di adakan oleh beberapa orang dalam hal keuntungan bisnis dari
perniagaan mereka hingga masa tertentu. Serikat semacam ini, menurut ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah hukumnya juga batal, karena tidak ada kekayaan yang
terhimpun diddalamnya yang bisa ditarik kembali jika terjadi pembatalan akad.
4)
Serikat ‘inan
Yaitu
perserikatan beberapa orang dalam pengumpulan harta yang dipergunakan untuk
berdagang, atau masing-masing pihak membawa kekayaan untuk dihimpun dengan
kekayaan milik rekanannya. Menurut ijma’ ulama, serikat semacam ini hukumnya
boleh, hal ini sesuai dengan hadits yang telah disampaikan dimuka.
2.1.3. Sistem Pembagian Keuntungan
Keuntungan dan kerugian
dibagi secara merata sesuai dengan kadar kepemilikan kekayaan tersebut. Karena
keuntungan membuktikan adanya perkembangan kedua kekayaan itu, sedangkan
kerugian menandakan adanya penurunan kekayaan tersebut. Oleh karena itu,
keuntungan dan kerugian harus disesuaikan dengan kadar harta tersebut.
2.2. Mudharabah
2.2.1. Definisi dan Dasar Hukum
Kata mudharabah
merupakan istilah yang dipakai oleh penduduk Iraq, karena masing-masing pihak
yang mengadakan akad bergerak mengambil keuntungan yang diperoleh, dalam hal
ini umumnya mengandung unsur safar. Sementara safar disebut pergerakan (dharb)
dimuka bumi. Sedangkan menurut bahasa penduduk Hijaz disebut qiradh, di ambil
dari kata dasar al-qardh yang artinya membagi, karena pemilik modal menanamkan
sebagian kekayaannya kepada pengusaha untuk mengelolanya dan memberikan
sebagian keuntungannya.
Madharabah atau qiradh
menurut syara’ adalah penanaman sejumlah modal oleh pemilik kekayaan kepada
seseorang (pengusaha) untuk kepentingan bisnis dibidang perdagangan, dan laba
yang diperoleh menjadi milik bersama di antara mereka.
Dasar hukum
pensyari’atan mudharabah yaitu firman Allah SWT:
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4
Artinya: “Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. ......”
(QS. Al-Baqarah: 198)
Serta hadits Nabi SAW.:
قَالَ رَسُوُّلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلىَ اَجَلٍ وَاْلمقَارَضَةُ
وَاَخْلاَطُ الْبُرِّ بِاالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَلِلْبَيْعِ
Artinya:
“Rasulullah saw bersabda: “Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkahan, yaitu jual beli secara tangguh,
muqaradhah (bagi hasil) dan mencampur gandum putih dengan gandum merah untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majjah)
2.2.2. Rukun dan
Syarat Mudharabah
Secara
umum rukun dan syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut:
1)
Orang yang berakad, yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan mampu
melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih
kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.
2)
Modal atau harta pokok (mal), syarat-syaratnya yakni:
a.
Berbentuk uang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus
berupa uang dan tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan
kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila barang itu
bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak batangan (tabar),
para ulama berbeda pendapat. Imam malik dalam hal ini tidak tegas melarang atau
membolehkan. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang
yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan
shahibul mal.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang
akan diserahkan kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama
tersebut disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat
itu, misalnya Rp 90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp 90.000.000.
b.
Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar
dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau
keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
c.
Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah.
Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi
apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki
melarangnya karena merusak sahnya akad.
d.
Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung
Apabila tidak diserahkan kepada mudharib secara
langsung dan tidak diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan
terjadi kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai
bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Apabila
modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak
diserahkan sepenuhnya, maka menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah,
akad mudharabah tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan boleh saja
sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu
kelancaran usahanya.
3)
Sighat (Ijab Qobul)
Melafazkan
ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang
jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul dari pengelola.
4)
Pembagian Keuntungan
a.
Proporsi jelas. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% :
50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.
b.
Keuntungan harus dibagi
untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
2.2.3. Kewajiban Mudharib
1)
Tidak memberikan modal ke pihak lain tanpa seizin pemilik modal,
karena tugas yang di embannya berdasarkan izin.
2)
Tidak berdagang kecuali perdagangan yang di izinkan pemilik modal,
karena pengusaha tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan tanpa
lisensi dari pemilik modal.
3)
Tidak membeli barang melebihi modal dasar, karena izin diberikan
sesuai besaran modal dasar.
2.3. Musaqah
2.3.1. Definisi dan Dasar Hukum Musaqah
Menurut bahasa, musaqah
di ambil dari kata dasar as-saqyu (pengairan).
Menurut syara’, musaqah
adlah kerjasama perawatan tanaman, seperti menyirami dan lain sebagainya dengan
perjanjian bagi hasil atas buah atau manfaat yang dihasilkan.
Dasar hukum musaqah
adalah sabda Rasulullah SAW.:
حديث ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ خَيْبَرَ
بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ، فَكَانَ يُعْطِي
أَزْوَاجَهُ مِائَةَ وَسْقٍ: ثَمَانُونَ وَ سْقَ تَمْرٍ، وَعِشْرُونَ وَ سْقَ
شَعِيرٍ؛ فَقَسَمَ عُمَرُ خَيْبَرَ فَخَيَّرَ أَزْوَاجَ النَبِيِّ صلى الله عليه
وسلم أَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ مِنَ الْمَاءِ وَالأَرْضِ أَوْ يُمْضِيَ لَهُنَّ،
فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الأَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الْوَسْقَ،
وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ الأَرْضَ
Artinya: Ibn Umar r.a. berkata. Nabi Saw. menyerahkan
sawah ladang dan tegal di Khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau
buah dan tanaman, maka Nabi SAW. memberi isteri-isterinya seratus wasaq (I
wasaq = 60 sha 1 sha' -
4 mud atau 2 1/2 kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh
wasaq sya'ier (jawawut). Kemudian di masa Umar r.a. membebaskan kepada isten
isteri Nabi SAW. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta
bagian wasaq itu, maka
di antara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya
berupa wasaq. A'isyah r.a. telah memilih tanah. (HR. Bukhari, Muslim).
2.3.2. Rukun dan Persyaratan Musaqah
Rukun-rukun musaqah
menurut jumhur ulama ada lima :
1)
Sighat,
(ungkapan) ijab dan qabul;
2)
Al-aqidain, dua
orang pihak yang melakukan transaksi;
3)
Obyek
al-musaqah, yang terdiri atas pepohonan yang berbuah baik berbuahnya dalam
bentuk tahunan atau juga setahun sekali, seperti padi, jagung, dll;
4)
Ketentuan
mengenai pembagian hasil dari musaqah tersebut;
5)
Masa kerja,
hendaknya ditentukan lama waktu yang akan dipekerjakan.
Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah yang menjadi rukun dalam musaqah itu hanyalah ijab dari pemilik tanah
perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani
penggarap.
Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun adalah:
1)
Ucapan yang
dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan
shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja;
2)
Kedua belah
pihak yang melakukan transaksi al-musaqah harus yang mampu dalam bertindak
yaitu dewasa (akil baligh) dan berakal;
3)
Dalam obyek
al-musaqah terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut Hanafiyah yang
menjadi obyeknya adalah pepohonan yang berbuah, seperti kurma, anggur dan terong
atau pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi. Menurut ulama Malikiyah
mengatakan bahwa obyeknya adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma,
anggur, terong dan apel, dengan syarat bahwa: (a) Akad al-musaqah itu dilakukan
sebelum buah itu layak panen; (b) Tenggang waktu yang ditentukan harus jelas;
(c) Akad dilakukan setelah tanaman itu tumbuh; (d) Pemilik perkebunan tidak
mampu untuk mengelola dan memelihara tanaman itu. Menurut Hanabilah yang boleh
dijadikan obyek al-musaqah adalah tanaman yang yang buahnya boleh dikonsumsi,
maka dari itu al-musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak berbuah.
Sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek itu
adalah kurma dan anggur saja. Sebagaimana terlampir dalam hadist Rasulullah SAW
yang berbunyi :
Artinya : Rasulullah Saw. menyerahkan perkebunan kurma
di Khaibar kepada Yahudi dengan ketentuan sebagian hasilnya, baik dari
buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi mililk orang Yahudi itu;
4)
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk
digarapi, tanpa campur tangan pemiliknya;
5)
Hasil (buah)
yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi menjadi dua, atau tiga, dsb;
6)
Lamanya
perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transaksi
ijarah ( sewa menyewa ).
2.3.4. Perbedaan Al-Musaqah Dengan Al-Muzara’ah
Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa ada perbedaan antara al-musaqah dengan al-muzara’ah, yaitu:
1)
Jika salah satu
pihak dalam akad al-musaqah tidak mau melaksanakan hal-hal yang telah disetujui
dalam akad, maka yang bersangkutan boleh dipaksa untuk melaksanakan kesepakatan
itu. Berbeda dengan akad al-muzara’ah, bahwa jika pemilik benih tidak mau
kerjasama dalam menuaikan benih maka ia tidak boleh dipaksa. Menurut jumhur
ulama, akad al-musaqah itu bersifat mengikat kedua belah pihak. Beda dengan
al-muzara’ah yang sifatnya baru mengikat jika benih sudah disemaikan, apabila
benih belum disemaikan, maka pemilik boleh saja untuk membatalkan perjanjian
itu. Berbeda dengan pendapat Hanabilah yang mengatakan bahwa akad al-musaqah
dan al-muzara’ah itu merupakan akad yang tidak mengikat kedua belah pihak, oleh
karena itu boleh saja salah satu pihak yang melakukan akad membatalkan;
2)
Menurut
Hanafiyah penentuan waktu dalam al-musaqah itu bukanlah salah satu syarat,
penentuan lamanya akad itu berlangsung disesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat. Sedangkan dalam akad al-muzaraah itu dalam penentuan waktu, ada dua
pendapat. Menurut Hanafi; pertama disyaratkannya tenggang waktu, dan kedua
tidak disyaratkan;
3)
Apabila tenggang
waktu yang disetujui dalam akad al-musaqah berakhir, akad dapat terus
dilanjutkan tanpa ada imbalan terhadap petani penggarap. Sedangkan dalam akad
al-muzara’ah bila tenggang waktu telah habis dan tanaman belum juga panen, maka
petani penggarap melanjutkan pekerjaannya dengan syarat ia berhak menerima upah
dari hasil bumi yang dipetik.
2.3.5. Berakhirnya Akad Al-Musaqah
Menurut para ulama
berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1)
Tenggang waktu
yang disepakati dalam akad telah habis;
2)
Salah satu pihak
meninggal dunia;
3)
Ada udzur yang
membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam
udzur disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu
dapat diwarisi atau tidak :
Ulama Malikiyah: bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi,
jika salah satunya meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada
udzur dari pihak petani.
Ulama Syafi’iyah: bahwa akad al-musaqah tidak boleh dibatalkan
meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib
petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu.
Ulama Hanabilah: akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, yaitu
akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing
pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon
berbuah, buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang telah ada.
2.4. Muzara’ah dan Mukhabarah
2.4.1. Definisi,
Perbedaan dan Ketentuan Hukum Muzara’ah dan Mukharabah
Muzara’ah adalah akad
penggarapan tanah kosong produktif dengan sistem bagi hasil yang disepakati
bersama, yang benih tanamannya ditanggung oleh pemilik tanah. Sebaliknya, jika
benih tanaman ditanggung oleh penggarap ia disebut mukhabarah.
Menurut pengikut Mazhab
Syafi’i, hukum muzara’ah dan mukhabarah adalah batal, karena keduanya dilarang
untuk dilakukan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ
يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا
فَذَكَرْتُهُ
Artinya: ...Rafi'
bin Khudaij berkata, "Sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang muzara'ah....”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majjah)
2.4.2. Dasar Hukum Muzara’ah yang di Ikutsertakan dengan
Masaqah
Para pengikut Mazhab
Syafi’i secara bulat memperbolehkan akad muazara’ah yang di ikutsertakan dengan
akad musaqah. Misalnya disekitar tanaman kurma atau anggur ada tanah kosong,
lalu akad mazara’ah atas lahan kosong dilakukan bersamaan dengan akad atas
pohon kurma atau anggur tersebut hukumnya sah. Sementara itu akad mukhabarah
hukumnya batal secara mutlak.
Muzara’ah yang di
ikutsertakan dengan musaqah harus memenuhi lima persyaratan berikut:
1)
Pelaksana tugas
dalam akad kedua akad tersebut harus orang atau sekelompok orang yang sama.
Sehingga apabila pemilik mengadakan akad musaqah dengan satu pihak dan akad
muzara’ah dengan pihak lain lagi, maka hukumnya tidak sah.
2)
Kesulitan
memisahkan perawatan pohon kurma atau anggur, dan mengolah lahan kosng
(muzara’ah) karena adanya saluran air dalam tanah dan pengolahan tanah sangat
bermanfaat buat pohon kurma. Namun apabila keduanya dapat dipisah, muzara’ah
tidak diperbolehkan karena tidak diperlukan lagi.
3)
Kedua pihak yang
berakad tidak memisahkan pelaksanaan kedua akad tersebut, bahkan kedua akad itu
harus dilakukan berkelanjutan agar sifat keikutsertaan dapat terpenuhi.
4)
Pemilik tidak
mengadakan akad muzar’ah lebih dahulu dai akad musaqah, karena status muzara’ah
adalah mengikuti. Sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang di
ikuti.
5)
Harus
menjelaskan jenis tanaman yang akan ditanam.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari semua uraian di
atas, dapat kita peroleh gambaran bahwa agama Islam benar-benar merupakan
tuntunan hidup yang sempurna, tiddak ada satu pun sendi kehidupan yang lepas
dari pengaturan Islam. Hal ini semakin menegaskan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin, karena ia benar-benar merupakan rahmat bagi semesta.
Semua hukum dalam Islam
hanya mencerminkan satu hal, yakni kemaslahatan umat, walaupun terkadang di
ingkari oleh orang-orang dungu engikut hawa nafsu, namun itu tidak menutup atau
menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
3.2. Saran
Sesungguhnya
kesempurnaan hanyalah milik Allah ta’ala, kami sebagai manusia biasa tentulah
tak lepas dari kekurangan, termasuk pula makalah yang kami tulis ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan saran dari semua pihak demi perbaikan pada
penulisan makalah kami di masa yang akan datang.
0 komentar:
Posting Komentar