Rezim Apartheid Mengamuk di Palestina
Kekerasan militer terbesar di Tepi Barat yang Diduduki dalam waktu lebih dari satu dekade telah mengakibatkan delapan rakyat Palestina tewas dan lebih dari 130 orang terluka. Ribuan rumah telah digrebek dan lebih dari 560 rakyat Palestina telah ditangkap dan ditahan tanpa tuduhan atau pengadilan.
Diantara mereka yang ditangkap adalah anggota Dewan Perwakilan Palestina, 50 mantan tahanan politik yang dilepaskan saat pertukaran Gilad Shalit dan mantan tahanan politik serta peserta mogok makan, Samer Issawi.
Serangan udara juga telah mebombardir Jalur Gaza. Kekerasan militer, yang diberi nama “Operation Brother’s Keeper” oleh kekuatan pendudukan Israel, dilancarkan setelah dugaan penculikan tiga pemuda pemukim Israel pada 12 Juni.
Serangan tersebut dikatakan untuk menemukan dan menangkap mereka yang bertanggung jawab atas dugaan penculikan, namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah membuat jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk melemahkan “pemerintahan persatuan” teknokratik Palestina baru yang dibentuk oleh Fatah dan Hamas pada tanggal 2 Juni. Netanyahu telah berulang kali menyalahkan Hamas atas dugaan penculikan, dan mengklaim bahwa Israel memiliki “bukti yang jelas” bahwa organisasi Hamas bertanggung jawab.
Agensi polisi rahasia Israel Shin Bet pada tanggal 26 Juni menyebutkan dua orang mantan tahanan politik Palestina sebagai terduga penculik. Satu-satunya bukti yang ditunjukan adalah bahwa mereka anggota Hamas dan telah menghilang sejak dugaan penculikan tersebut terjadi. Hamas telah menyangkal keterlibatan.
Seorang Jurnalis Ron Ben-Yishai, pada tanggal 27 Juni disebuah artikel yang diterbitkan di situs berita bahasa Inggris untuk harian berbahasa Ibrani terbesar di Israel, Yedioth Ahronot, mencatat bahwa nyatanya Shin Bet tidak memiliki “petunjuk yang kuat“. Namun dengan menerbitkan nama dan foto dari kedua orang tersebut telah “melayani diplomasi Israel, terutama untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, karena hal itu memberikan bukti (tuduhan) bahwa Hamas yang bertanggung jawab untuk (dugaan) penculikan terhadap ketiga anak”.
“Ini adalah persis yang dibutuhkan oleh Netanyahu untuk merubah opini public di Eropa dan AS melawan rekonsiliasi antara Otoritas Palestina dan Hamas.” Sebuah alasan tambahan untuk menyebutkan nama dari kedua orang tersebut, menurut Ben-Yishai,” untuk membuktikan bahwa Shin Bet membuat kemajuan dan tidak meraba-raba dalam kegelapan”.
Media massa Israel yang lainnya telah melaporkan bahwa operasi militer Israel telah – setidaknya sebagian – direncanakan sebelum tiga orang pemukim Israel tersebut hilang. Kantor berita dalam bahasa Ibrani Hadrei Hadarim mengutip perwira militer senior Israel yang mengatakan bahwa tujuan dari operasi tersebut bukanlah pembebasan dari pemukim Israel yang diduga diculik namun “untuk memprovokasi (Palestina) agar menciptakan kekacauan dan kemudian menekan mereka yang menyebabkan kekacauan”.
Kekerasan Israel termasuk juga invasi berulang kali terhadap universitas-universitas Palestina, termasuk Universitas Birzeit dekat Ramallah dan Arab American University di Jenin. Di Bethlehem, tentara Israel menggunakan plaza utama dari Universitas Ahliya sebagai tempat untuk menahan rakyat Palestina yang ditutup matanya yang ditangkap saat penggrebekan di kamp pengungsi Dheisha. Di Universitas Al Quds di Jerusalem Timur yang diduduki, kekuatan Israel menembakan gas air mata, melukai banya mahasiswa.
Universitas Birzeit menyebutkan aksi Israel sebagai “agresi barbar”. Pernyataan sikap tanggal 19 Juni dari universitas tersebut mencatat bahwa invasi terhadap kampusnya adalah “sebuah serangan terang-terangan terhadap hak untuk pendidikan”.
Otoritas Palestina, dipimpin oleh pemimpin Fatah Mahmoud Abbas, telah berada dibawah kritik terus menerus karena melanjutkan “koordinasi keamanan” dengan Israel. Kerjasama intelijen dan layanan keamanan Otoritas Palestina yang didanai AS adalah alat untuk menindas perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan dan kebijakan apartheid Israel. Abbas mengatakan pada jurnalis Israel pada bulan Mei bahwa kerjasama tersebut adalah “suci“.
Pada tanggal 22 Juni, ketika kekuatan Israel menginvasi Ramallah, pemuda Palestina yang berusaha melawan mereka juga mengarahkan kemarahan mereka terhadap Otoritas Palestina, melemparkan batu ke markas polisi Otoritas Palestina. Serangan tersebut terjadi tiga hari setelah polisi Otoritas Palestina memukuli ibu dan istri dari tahanan politik Palestina yang ikut dalam mogok makan. Di Hebron, kota yang paling buruh diserang oleh kekerasan militer Israel saat ini, rakyat Palestina juga telah melancarkan protes menuntut diakhirinya “koordinasi keamanan“.
Protes terhadap kekerasan Israel tidak hanya terjadi di Tepi Barat, namun juga terjadi didalam Israel.
Oleh : Kim Bullimore.
(Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumawardana dari Redflag).
Read more at http://www.arahjuang.com/2014/07/10/rezim-apartheid-mengamuk-di-palestina/#aRzwZr03A1eK5Fzo.99
0 komentar:
Posting Komentar