MAKALAH PENGERTIAN ILMU
KALAM , TAUHID SERTA SEJARAH MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ilmu kalam
Dosen Pembimbing
H. M.imdadur Rohman.MH.I
Disusun oleh:
Danang Purbo Raharjo ( C04211062 )
Fasilatul lailiyah (C04211071)
M.Sukron ( C04211090 )
PRODI EKONOMI SYARIAH ( C )
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayahnya kami
bisa menyelesaikan tugas dengan judul “ PENGERTIAN ILMU KALAM TAUHID
SERTA SEJARAH MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
”.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk kepada jalan yang benar.
Tema
ini diberikan kepada kami sebagai tugas mata kuliah dan diharapkan
nantinya dapat membantu dosen pengajar dalam menyampaikan materi kuliah
di kelas.
Akhir
kata, perkenankanlah kami memohon do’a restu atas makalah ini. Dan
hanya kepada Allahlah kita berlindung dan mengharapkan taufiq serta
hidayahnya.
Akhirul kalam. Ihdinas shiratal mustaqim. tsumma assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatu
September , 2011
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Aqidah
ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari
suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya
secara mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya.
Mempelajari akidah/teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan
yang berdasarkan pada landasan yang kuat , yang tidak mudah
diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi
dalam Islam disebut juga ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti
satu/esa dan keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang
terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu
kalam.
B.Rumusan Masalah
1. apa pengertian dari ilmu kalam ?
2. apa pengertian dari tauhid ?
3. bagaimana sejarah muncul imu kalam ?
4. apa saja ruang lingkup ilmu kalam ?
C.Tujuan
1.untuk mengetahui pengertian dari ilmu kalam ?
2. untuk mengetahui apa pengertian dari tauhid ?
3 untuk mengetahui sejarah muncul imu kalam ?
4. untuk mengetahui ruang lingkup ilmu kalam ?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu
Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil
aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan
dari para penentang.
Abu Hanifah
menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar.Menurut persepsinya, hukum
islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama,fiqh al-akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.[1]
Teologi islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning God ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).[2] Dengan mengutip kata-kata William Ockham,Reese lebih jauh mengatakan, “Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science.”( Teologi
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta
independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove
menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang
keimanan,perbuatan,dan pengalaman agama secara rasional.
Al-Farabi
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan
Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan
dengan masalah setelah kematian yang berlandaskan doktrin Islam.
Penekanan akhirnya adalah menghasilkan ilmu ketuhanan secara filosofis.[3]
Adapun
Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat
dalil-dalil rasional.
Sedangkan
Musthafa Abdul Raziq berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar
kepada argumentasi-argumentsi rasional yang berkaitan dengan aqidah
imaniah, atau sebuah kajian tentang aqidah Islamiyah yang bersandar
kepada nalar.[4]
Menurut Ahmad Hanafi, di dalam nash-nash kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan sekarang. Arti semula dari istilah al-Kalam
adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud Kemudian
dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara.
Sebagai contoh, kata-kata kalamullah banyak terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya pada Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan Surah an-Nisa’ ayat 164.[5]
Penggunaan al-Kalam sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana kita kenal saat ini pertama
kali digunakan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada
masa khalifah Al-Ma’mun.Sebelumnya, pembahasan tentang
kepercayaan-kepercayaan dalam islam disebut al-fiqh fi ad-din, sebagai imbangan terhadap al-fiqh fi al-ilm yang diartikan ilmu hukum ( ilmu qanun ). Biasannya mereka menyebutkan al-fiqhi fiddiniafdhalu minal fiqhi fil ‘ilmi, ilmu aqidah lebih baik dari ilmu hukum.
Menurut
As-Syihristani bahwa setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari
kitab-kitab filsafat yang duterjemahkan pada masa al-Ma’mun, mereka
mempertemukan sistem filsafat dengan sistem Ilmu Kalam dan dijadikan
ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Kalam. Sejak saat itu,
diginakanlah penyebutan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Adapun yang melatarbelakangi mengapa ilmuini dinamakan Ilmu Kalam adalah :
1. Permasalahan terpenting yang menjadi tema perbincangan pada masa permulaan Islam adalah masalah firman Allah ( Kalam Allah ), yaitu al-Qur’an. Apakah Kalamullah tersebut
qadim atau hadits ( baru )? Walaupun permasalahan ini hanya merupakan
salah satu bagian dari pembahasan ilmu ketuhanan dalam Islam, namun
karena ia menjadi bagian terpenting maka ilmu ini dinamai Ilmu Kalam.
2. Dalam membahas masalah-masalah ketuhanan, para mutakallim ( ahli Ilmu Kalam ) menggunakan dalil-dalil aqliyah dan
dampaknya tercermin pada keahlian meraka dalam berargumentasi dengan
mengolah kata-kata. Dengan demikian, mutakallim diartikan juga dengan
ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
3. Secara
harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi secara istilah, kalam
tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari,
melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan
logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika .
Selain itu, kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan
dari kata dan istilah Yunani “logos” yang juga secara harfiah berarti
“pembicaraan”. Dari kata itulah berasal berasal kata-kata logika dan
logis. Kata Yunani “logos” juga disalin kedalam bahasa Arab, “manthiq”.
Sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan
Aristoteles dinamakan Ilmu Manthiq ( ‘Ilm al-Manthiq ). Jadi kata Arab
“manthiqi” berarti “logis”. Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui
bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Manthiq atau Logika.
Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat.
Apabila memperhatikan definisi ilmu kalam diatas,
yakni ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan
argumentasi logika atau filsafat, secara teoritis aliran salaftidak dapat dimasukkan ke dalam aliran ilmu kalam,
karena aliran ini –dalam masalah-masalah ketuhanan- tidak menggunakan
argumentasi filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke dalam
aliran ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin atau fiqh al-akbar.
Sunber-sumber
ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli (
al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an
dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah
Islamiyah uang lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas
dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah
ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan
menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai
penguat argumentasi mereka.
Di
samping itu, dalil-dalil naqli ini tentunya diperkuat dengan dalil aqli
atau alur pikir yang logis. Dalil aqli ini ada yang berasal dari ilmu
keislaman murni dan ada yang diadopsi dari pemikiran-pemikiran di luar
Islam.Jadi kurang tepat kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu merupakan
ilmu keislaman murni, dan tidak benar juga kalau dikatakan bahwa ilmu
kalam itu timbul dari pemikiran di luar Islam seperti filsafat Yunani.
Yang benar adalah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber dari
al-Qur’an dan Hadits yang perumusan-perumusannya di dorong oleh
unsur-unsur dari dalam dan dari luar.[6]
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
a. Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
b. Q.S.
Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun
di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
d. Q.S.Al-Fath
: 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada
diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang
teguh dengan janji Allah.
e. Q.S.
Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang
selalu digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati
makhluk-Nya.
f. Q.S Ar-Rahman : 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak selama-lamannya.
g. Q.S
An-Nisa’ : 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan
berupa agama. Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama
apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
h. Q.S Luqman : 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinnya kepada Allah disebut sebagai orang muhsin.
i. Q.S.
Ali Imran : 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali
segala sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara sadar.
j. Q.S Ali Imran : 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan penunjuk jalan kepada para nabi.
k. Q.S,
Al-Anbiya : 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku,
ras, atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh
sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus
mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya.
l. Q.S.
Al-Hajj : 78: Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan
suatu kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad”
kalau dilakukannya hanya karena Allah semata.
Ayat-ayat
diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan
hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja,
penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda
pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada
gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
2. Hadits
Masalah-masalah
dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya
yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan yang
artinya :
Artinnya : “Diriwayatkan
dari Abi Hurairah ra. Berkata, pada suatu hari ketika Rasulullah SAW
berada bersama kaum muslimin, datanglah jibril ( dalam bentuk seorang
laki-laki ) kemudian bertanya kepada beliau, “ Apakah yang dimaksud
dengan iman?” Rasulullahmenjawab, “yaitu kamu percaya kepada Allah, para
malaikat, semua kitab yang diturnkan, hari pertemuan dengan-Nya, para
rasul dan hari kebangkitan. “ Lelaki itu bertanya lagi, “ Apakah pula
yang diaksudkan dengan Islam ?“ Rasulullah menjawab, “ Islam adalah
mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara
lain, mendirikan sholat yang telah difardhukan, mengeluarkan zakat yang
telah diwajibkan dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” Kemudian lelaki itu
bertannya lagi, “ Apakah ihsan itu?” Rasulullah SAW menjawab, “
Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.
Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, Ketahuilah bahwa Dia senantiasa
memperhatikanmu.” Lelaki tersebut bertanya lagi, “ Kapankah hari kiamat
akan terjadi?” Rasulullah menjawab, “ Aku tidak lebih tahu darimu,
tetapi aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila
seorang hamba melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya.
Aoabila seorang miskin menjadi pemimpinmasyarakat, itu juga sebagian
dari tanda-tandanya. Apabila masyarakat yang asalnya pengembala kambing
mampu bersaing dalam mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda
akan terjadi kiamat. Hanya lima perkara itu saja sebagian dari
tanda-tanda yang aku ketahui. Selain dari itu hanya Allah yang Maha
Mengetahuinya. “ Kemudian Rasulullah SAW membaca Surah Luqman ayat 34, “
Sesungguhnya hanya Allah lah yang mengetahui tentang hari kimat; dan
Dia-lah yang menurukan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam
rahim. Tiada seorangpun yang dapat mengetahui ( dengan pasti ) apa yang
akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
dimanakah ia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” Kemudian lelaki tersebut beranjak dari tempatnya,
kemudian Rasulullah bersabda ( kepada sahabatnya ), “Panggil kembali
lelaki itu.” (( Lalu para sahabat pun mengejar lelaki tersebut untuk
memanggilnya kembali ), namun mereka tidak melihatnya. Rasulullah SAW
pun bersabda, “ Lelaki tadi adalah jibril as., kedatangannya adalah
untuk mengajar manusia tentang agama mereka.”
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian ulam sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda, “ Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh
dua golongan.”
“Hadits
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani
Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka,
kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya
para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku
dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang
sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti
Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri,
Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin
Al-Aqsa.
Adapula
pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah
Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam
beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang
benar, sedangkan yang lainnya sesat.
Keberadaan
Hadits yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas,
pada dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan
dalam hati para sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa
hadits-hadits seperti itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para
sahabat dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya
persatuan.
3. Pemikiran Manusia
Sebagai
salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal dari pemikiran
umat islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di
dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan
manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya
Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia
diciptakan dari air yang memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi
laki-laki dan tulang dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Artinya : “ Maka
apakah ( Allah ) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat
menciptakan? Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” ( Q.S. An-Nahl Ayat 17 )
Artinya : “
Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada diatas mereka,
bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun?” ( Q.S. Qaf Ayat 6 )
Artinnya : “
Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat
berlayar padanya dengan seizing- Nya dan supaya kamu dapat mencari
karunia-Nya dan agar kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu
apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, ( sebagai rahmat )
dari pada-Nya, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berfikir.” ( Q.S. Al-Jatsiyah Ayat 12-13 )
Ayat-ayat
yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24, An-Nahl : 68-69,
Al-Isra’ : 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29, Az-Zummar :
9, Adz-Dzariyat : 47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh
karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan
penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar
saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran agama
mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya penggunaan
rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.
Ahmad
Amin menyebutkan, setelah umat Islam selesai menaklukan negeri-negeri
baru dan keadaan mulai stabil dan mereka hidup dengan rizki yang
melimpah ruah, mulailah mereka memikirkan tentang ajaran-ajaran agama
mereka. Mereka sungguh-sungguh membahasnya dan mempertemukan nash-nash
agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti ini hampir
merupakan gejala umum pada setiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah
kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan
tidak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya melaksanakan
bulat-bulat apa yang dikerjakan agama dan mengimaninya. Lalu setelah itu
datanglah fase pembahasan dan pemikiran dalam membicarakan soal-soal
agama secara ilmiah dan filosofis.[7]
Penelaahan mendalam seperti ini tentu karena adanya ajaran-ajaran Islam
yang memerintahkan manusia untuk belajar dan menggunakan pikirannya.
Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan setidaknya ada tiga faktor penting. Pertama, kebanyakan
orang-orang yang memeluk Islam setelah kemenangannya, pada awalnya
mereka memeluk berbaga agama yaitu Yahudi, Nasrani, Manu, Zoroaster,
Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain-lain.Mereka dilahirkan dan
dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada
yang benar-benar memahami ajaran agama aslinya. Setelah fikiran mereka
tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam, mulailah mereka
memikirkan ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat
persoalan-persoalanya lalu memberinya corak baju keislaman.
Di dalam sejarah, disebutkan bahwa Ahmad bin Haith dahulunya memeluk agama Hindu lalu mempersoalkan masalah reinkarnasi ( tanasukh al-arwah ),
yaitu manusia mati lalu hidup kembali menjadi makhlik yang lain. Ada
juga Abdullah bin Saba’ dan Persia yang dahulunya memeluk agama Yahudi,
menganggap bahwa raja Persia itu mempunyai sifat-sifat ketuhanan.
Kemudian timbul faham menuhankan khalifah Ali r.a.[8]
Kedua,
golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan
membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk
itu, mereka tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah
mereka mempelajari pendapat-pendapat serta alas an-alasan lawan mereka.
Maka terjadilah perdebatan-perdebatan yang rasional antar agama saat
itu. Tidak menutup kemungkinan masing-masing golongan mengambil pendapat
yang dianggapnya benar walau dari pendapat orang yang berbeda
dengannya. Sebagian agama terutama Yahudi dan Nasrani telah menggunakan
senjata filsafat Yunani. Philon ( 25 SM-5 M ) orang Yahudi yang pertama
memfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya dengan filsafat
Yunani. Clemus von Alexandrian ( 185-254 M ) diantara orang yang
pertama-tama mempertemukan agama Kristen Nestorius. Hal ini akhirnya
memaksa golongan Mu’tazilah untuk menggunakan senjata yang dipakai
lawan-lawannya, yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam
golongan Mu’tazilah dan golongan-golongan yang lain, semakin banyak
perbedaan pendapat dalam umat Islam. Hal ini merupakan salah satu faktor
munculnya ilmu kalam.[9]
Ketiga, sebagaimana pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat
membutuhkan filsafat Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka
mereka terpaksa mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika,
terutama dari sisi ketuhanannya. Misalnya An-Nadham, seorang tokoh
Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa
pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf.[10]
4. Insting[11]
Secara
Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan
adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas
Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul
agama dikalangan orang-orang primitif.[12]
Tylor justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada
benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun
Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap
nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya
menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang
sebagai asal-usul kepercayaan dn ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang
suka mengalami mimpi.[13]
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap, bercakap-cakap,
bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang
yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya
tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi
setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah
dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya
roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke
pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan
terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak
pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di
wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang
secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap suci
terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ),
buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan
terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya
keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.[14]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara
instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh
sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu
yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ).[15]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, hadits, pemikiran manusia, dan insting. Ilmu kalam adalah
sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematisasikan, dan
mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq
bahwa ilmu ini bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan
kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[16]
Adapun orang yang pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih
baik dengan logikannya adalah Imam Al-As’ari, tokoh ahlu sunnah wal
al-jama’ah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat, [17]dan Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.
C.SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN-PERSOALAN KALAM
sejarah
dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan
prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan
politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana
kekuasaan,bermula dari Peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal
8 juni 632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan politik dalam
masyarkat islam sehingga mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan
umat islam. Perpecahan ini mulai memanas sejak Khalifah Utsman bin Affan
mengambil kebijakan mengangkat anggota keluarganya untuk menduduki
posisi dalam struktur politik dan jabatan penting, sehingga sebagian
besar masyarakat islam tidak senang dengan kebijakan tersebut. Puncaknya
adalah saat Khalifah Utsman bin Affan terbunuh saat sedang membaca
Al-Qur’an dirumahnya.
Setelah
khalifah ustman terbunuh maka kembali diumumkan pergantian kekhalifahan
selanjutnya yang berpacu pada penolakan muawiyyah atas terpilihnya Ali
bin abi Thalib. Ketegangan antara keduanya mengobarkan sebuah peperangan yang disebut perang siffin
dan merupakan perang saudara pertama dalam islam yang dengan
pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria
(Syam),akan tetapi dengan kesigapan nilai ukhuwah maka peperangan ini
dapat diakhiri dengan keputusan tahkim (abitetrase), dan dalam tahkim
terdapat persoalan-persoalan yang merugikan pihak Ali bin abi Thalib
karna menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash utusan dari pihak Muawiyyah
dalam tahkim yang mengakibatkan misintrepetasi dari sebagian tentara
Ali, karna telah memutuskan persoalan dengan tahkim sebagai akhir dari
sebuah pilihan. Hal inilah yang mengakibatkan perpecahan dari kubu Ali
bin abi thalib sehingga banyak diantara yang semula berpihak pada Ali
kemudian terpecah dan keluar dari barisan militer ali bin abi Thalib
,Putusan hanya datang dari Allah dan harus kembali pada hukum dan
ketetapan Allah yang ada dalam Al-qur’an . La hukma illa Allah
(tidak ada perantara selain Allah) Hal ini tidak hanya mempunyai
implikasi politik yang tajam, tetapi juga meningkat kepada
persoalan-persoalan teologi, yang melahirkan beberapa aliran teologi
yaitu :
a. Khawarij: persoalan iman dan kufr (mu’min dan kafir)
Sebagai
kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij
–terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih
bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini
tak dapat disangka karena, seperti yang telah diungkapkan sejalrah,
Khawarij mula-mula memunculkan eprsoalan teologis seputar masalah
“apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?””apakah
muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas
pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar teologi mereka.
Menurut mereka, Ali dan Muawiyah beserta para pendukungnyatelah
melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa
besar. Dansemua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua
subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di
neraka selamanya. Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah,
menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari pada kafir yaitu
musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau
bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam
pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah
(agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam
ini akan kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Iman
dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan. Segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari
keimanan, segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalam
masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan, al-amal juz’un al-iman).
Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban
agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh
khawarij.
b. Murji’ah: masalah iman dan menentang pendapat Khawarij
Aliran
murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran
khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran
murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan
kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar tetap mukmin.
Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a.
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau
perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan
hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan
yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati,
setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas
seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Ajaran
pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja
atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan
politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja
diimplementasikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah
dikenal pula sebagai the queieties (kelompok bungkam). Sikap ini
akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah selalu diam
dalam persoalan politik.
c. Paham Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Dalam
kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan
bahwa menurut paham teologi Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kemauannya sendiri, dan
manusia sendiriilah yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas
kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia mempunyai
kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia
menghendakinya, dan ia pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya.
Aliran ini menolak paham yang mengatakan bahwa manusia dalam
perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut kadar yang telah
ditentukan sejak zaman azali. Selanjutnya pengarang kitab Tarikh
al-Firaq al-Islamiyah itu juga menyebutkan, bahwa menurut paham
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa.
Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak
mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam
perbuatan-perbuatannya dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri
mereka, tak ubahnya seperti air yang mengalir, manusia tak ubahnya
seperti bulu yang ditiup oleh angin, dia akan melayang-layang ke arah
mana angin bertiup. Menurut paham ini, segala perbuatan manusia tidak
merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan sendiri, tapi
perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang membunuh orang
lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri,
tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah yang menghendaki
demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya
sendiri, tetapi Tuhanlah yang memaksanya membunuh. Manusia dalam paham
ini hanya merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia berbuat
dan bergerak karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuham manusia
tidak dapat berbuat apa-apa. Disamping kedua paham itu, terdapat pula
paham tengah antara paham Qadariyah yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghailan
dengan paham Jabariyah yang dibawa oleh Jaham, yaitu paham kasb, yang
dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut
al-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, dalam paham Kasb,
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan
baik maupun perbuatan yang jahat. Tetapi manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam dirinya
mempunyai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut
paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya.
d. Mu’tazilah : al-Ushul al-Khamsah
Setiap
pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara
posisi mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum
sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya.
Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada
siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah,
seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu
dengan istilah fasik yang bukan mukmin attau kafir.
1) Al Tauhid ( Ke-Esa-an )
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha esaan
Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri
di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi
sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat
Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b.
Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat
fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya,
seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua
sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan
Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan
Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan
tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa
: penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.
2) Al ‘Adl (Keadilan )
Paham
keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya
Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim,
bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan
Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang
baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf
atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya
mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.
Keadilan
Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah
dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai
kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas
menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran
ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil
jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan
menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh
Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang
siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan
lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji
zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi
menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang
Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena
masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga
dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah
sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di
akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang
berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang
kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir.
Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5) Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
e. Asy’ariyah: Mazhab Syafi’i
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari.
Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad.
Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai
yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab
Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam
ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang
berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih,
Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian
besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah
hukum.
Tehadap
pelaku dosa besar, agaknya asy’ari, sebagai wakil ahl al-sunnah tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah),
walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya,
mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa
besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia
meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut al-asyari, hal itu
bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak. Tuhan dapat saja
mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat nabi SAW.
Sehingga terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan
memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya.
Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir
lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai ia akan dimasukkan
ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah khususnya tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
f. Maturidiyah: Mazhab Ahmad bin Hambal
Maturidiyah
didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah
Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur
Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih.
Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Setelah
menelaah sekian riwayat tentang munculnya ilmu kalam dan
persoalan-persoalan disekitar ilmu kalam yang menjadi simbolisasi dari
ilmu manthiq dan logika , seakan menata barisan idiologi tentang hal-hal
yang mendoktrin untuk terus berfikir akan sesuatu yang telah ada dan
mencakup semua sejarah tentang perebutan kekuasaan, perbedaan cara
pandang dan sistem perpolitikan. Kaca perbandingan yang menyeluruh dari
sekian bentuk knowladge yang bermunculan seiring perkembangan zaman. Wallahu a’lam.
D.Ruang lingkup aqidah ilmu kalam
Masalah
yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah,
Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’
dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan
masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil
rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
D. Sejarah kelahiran aqidah ilmu kalam
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik
yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin affan yang berbuntut
pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan
antara . Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang
siffin yang berakhir dengan keputusan Tahkim (arbitrase). sikap ali yang
menerima tipu muslihat Amr bin Ash(utusan Mu’awiyah dalam tahkim),
sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya. mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu
tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan datang dari Allah dengan
kembali kepada hukum-hukum Al-Qur’an La Hukma Ila Lillah(tidak ada hukum
selain dari hukum Allah). atau La Hukma Illa Allah( tidak ada perantara
selain Allah) menjadi semboyan mereka . mereka memandang Ali bin Abi
Thalib telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka
terkenal dengan nama khawarij. dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin
Abi Thalib dikenal dengan nama syiah.
Harun
lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti
siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam
Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Mu’awiyah,
Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah
surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu:
1.
Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah
kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib
dibunuh.
2.
Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap
mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.
Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi
mereka orang yang berdosa besar bukan kafir , tetapi bukan mukmin.
Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa
arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara
dua posisi). dalam Islam timbul pula dua aliran teologi yang terkenal
dengan Qadariyah dan Jabariyah. menurut Qadariyah, manusia mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. adapun Jabariyah
berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional
mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam yaitu aliran
Asy’ariyah dan Aliran Maturidiyah.
E. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Pembahasan
ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil
naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran) . Sebagai
sumber Ilmu Kalam, Al-qur;an banyak menyinggung hal yang berkaitan
dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah
1.
Q. S. Al-Ikhlas(112):3-4. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak
beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak satupun di dunia ini yang
tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
2.
Q. S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak
menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
3.
Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan Yang Maha Penyayang
bertahta diatas Arsy. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada
diantara keduanya.
4.
Q. S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai tangan
yang selalu berada diatas tangan-tangan orang yang melakukan sesuatu
selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
5.
Q. S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai mata
yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan
hati makhluknya.
6. Q. S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai wajah yang tidak akan rusak selama-lamanya.
7.
Q. S. An-Nisa’(4)125. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan
aturan berupa agama . seseorang dikatakan telah melaksanakan aturan
agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
F. Faktor-faktor Timbulnya Ilmu Kalam
1. Faktor dari dalam(intern) :
a.
Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan bintang-bintang sebagai
sekutu Allah. hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-An’am ayat
76-78.
b. Ada yang mentuhan kan Nabi Isa as. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-Maidah ayat 116.
c. Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-an’am ayat 74.
d.
Golongan yang tidak percaya akan kerasulan nabi(nabi Muhammad saw. )
dan tidak percaya akan kehidupan akhirat. hal ini ditolak dengan firman
Allah surat al-Ambiya’ ayat 104.
e.
Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia ini
adalah perbuatan Tuhan semuanya dan Soal politik (Khilafah) pemimpin
negara. yang dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa
terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain
saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
2. Sebab dari luar (ekstern) yaitu:
a.
Danyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi,
masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang
teguh Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan
dimasukkannya dalam ajaran-ajaran Islam.
b.
Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan
perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan
mereka yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi
lawan-lawanya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat
lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. sehingga kaum muslimin memakai
filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.
c.
Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang menggunakan
filsafat , dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.
G. Hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya (filsafat dan tasawwuf)
1. Titik persamaan
Ilmu
kalam, filsafat dan tasawwuf mempunyai obyek kemiripan. Obyek ilmu
kalam ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya. Obyek kajian filsafat
adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala
sesuatu yang ada. Sementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan,
yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari aspek
objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan. Argumentasi filsafat sebagaimana ilmu kalam dibangun diatas
dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat
spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan
eksperimen). Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan
hal yang sama, yaitu kebenaran yang rasional.
2. Titik Perbedaan
Perbedaan
diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya.
Ilmu kalam , sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping
argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan
keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai ketuhananya .
Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama,
serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh
kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional.
filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan
atau mengelana) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral
(menyeluruh) serta universal tidak merasa terikat oleh ikatan apapun
kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Adapun ilmu
tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai
sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawwuf bersifat
subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Dilihat
dari aspek aksiologi(manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai
ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya
mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai
ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang
yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih
bebas melalui pengamatan dan kajian langsung. Adapun tasawwuf lebih
peran sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah
melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh yang ingin
dicarinya. Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki
jenjang tertentu . jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat
dan yang terakhir adalah ilmu tasawwuf. Kesimpulan
1.
Pengertian Aqidah Ilmu kalam adalah artinya ilmu yang mempelajari
ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan
dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Nama-nama
ilmu kalam yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi
Islam. dan Ruang lingkupnya adalah tentang mengesakan tuhan yang
diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari
aqiah-aqidah yang menyimpang.
2.
Sejarah munculnya ilmu kalam adalah ketika Rasulullah meninggal dunia
dan peristiwa terbunuhnya usman diman antara golongan yang satu dengan
yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling
benar. dan sumber-sunber ilmu kalam adalah dalil naqli(al-qur’an dan
hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran)
3. Faktor timbulnya ilmu kalam ada dua yaitu faktor intern dan ekstern.
4. Hubungan ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya(filsafat dan tasawwuf mempunyai persamaan dan perbedaan.
E.Pengertian Imu Tauhid
Ditinjau
dari sudut bahasa (etimologi ) ,kata tauhid adalah merupakan bentuk
kata mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu : wahhada yuwahhidu
wahdah yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan .[18] kemudian ditegaskan oleh ibnu khaldun dalam kitabnya muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna keesaan tuhan. [19] maka
dari pengertian ithimologi tersebut dapat diketahui bahwa tauhid
mengandung makna meyakinkan (mengi’tikadkan ) bahwa allah adalah satu
tidak ad syrikat bagi-nya
Ditinjau dari sudut istilah ( terminologi ) , telah dipahami bersama
bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai obyek dan
tujuan tertentu .karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing
–masing mempunyai batasan – batasan tertentu pula . demi batasan-batasan
tersebut pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan dan
cendikiawan didalam membahas, mengkaji , dan menelaah obek garapan dari
suatu cabang ilmu pengatahuan .
Demikian juga halnya pada kajian ilmu tauhid yang telah di ta’rifkan oleh para ahli sebagai berikut :
a. syekh muhamad abduh mengatakan bahwa :
ilmu
tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud allah dan sifat sifat
yang wajib ada pada-nya ,dan sifat yang boleh ada padanya dan sifat yang
tidak harus ada pada-nya ( mustahi ) , ia juga membahas tentang para
rasul untuk menegaskan tugas risalahnya , sifat sifat yang wajib ada
padanya yang boleh ada padanya ( jaiz ) dan yang tidak ada padanya (
mustahil ) [20]
b. syekh husain affandi al-jisral-tharablusymenta ’rifkan sebagai berikut :
ilmu
tauhid ialah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetapkan
aqidah ( agama islam ) dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan[21]
dari
kedua ilmu ta’rif ilmu tauhid tersebut itu dapat lah diambil suatu
pengertian bahwa pada ta’rif pertama ( syekh muhamad abduh ) lebih
menitik beratkan pada objek formal ilmu tauhid yakni pembahasan tentang
wuhud allah dengan segala sifat dan perbuatannya serta membahas tentang
para rasulnya , sifat-sifat dengan segala perbuatannya .sedangkan pada
ta’rif kedua ( sekh husain al-jisr) menekankan pada metode pembahasannya
yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan , dan yang
dimaksud disini adalah dalil naqli maupun dalil aqli.dengan demikian
ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih
memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya serta
tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan
berbagai pendekatan .
C.Objek Pembahasan Ilmu Tauhid
Obyek pembahasan atau yang menjadi lapangan bahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi pada tiga bagian utama yaitu :
- tauhid ilahiyah (ketuhanan) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah ketuhanan , hal ini terdiri dari :
- tauhid uluhiyyah yaitu membahas tentang keesaan allah dalam dzat –nya tidak terdiri dari beberapa unsur atau oknum , dia (allah) sebagai dzat yang wajib disembah dan dipuja dengan ikhlas ,semua pengabdian hambanya semata-mata hanya untuknya seperti berdoa dan lain-lain sebagai mana yang dinyatakan dalam firman allah swt dalam surat al-ikhlas ayat 1- 4
- tauhid rububiyah , yaitu pembahasan tentang allah sebagai arrabu yaitu esa dalam penciptaannya pemeliharaan dan pengaturan semua makluhnya sebagai firman allah yang menjelaskan siapakah yang memberi rezeki pada manusia dalam surat yunus ayat 31
- tauhid dzat , sifat – sifat dan nama – nama nya yaitu pembahasan tentang sifat sifat dan nama-nama yang disebut sendiri oleh allah dan rasulnya yang tidak sama dengan makluhnya sifat dan nama-nmanya adalah agung dan sempurna kita tidak boleh memberi nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan nya atau menyusuaikan nama-nama dan sifat sifat itu dengan yang lain seperti membagaimanakan , menggambarkan dan lain-lain .sebagaiman firman allah dalam surat al-a’raaf ayat 180 .
- tauhid nubuwwah ( kenabian ) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian ,kedudukan dan peranan serta sifat sifat dan keistimewaannya , sebagaimana firman allah dalam surat an-nahl ayat 43.
- tauhid sam’iyyat ,yaitu sesuatu yang diperoleh lewat pendengaran dari sumber yang meyakinkan yakni al-qur’an dan al-hadits ,misalnya tentang alam kubur , azab kubur ,hari kebangkitan dipadang mashar ,alam akhirat ,tentang ’arsy ,lauh mahfudz ,dan lain-lain [22] seperti yang disebutkan dalam firman allah surat az-zumar ayat 60 .
D.Dasar-dasar Ilmu Tauhid
Syekh
husain al-jisr menjelaskan bahwa didalam membahas ilmu tauhid
mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan yakni dalil naqli dan aqli .
dalil naqli adalah pengetahuan tentang masalah – masalah agama yang
diambil dari alquran dan hadis yang shaheh . dengan dalil naqli tersebut
diketahui keterangan – keterangan tentang tuhan dan segala sifat dan
perbuatannya serta menunjukan bahwa segala makhluh berada dalm
lingkungan hukum alam ( sunnah allah ) yang tidak berubah dan bertukar ,
sebagaimana tersebut dalam firman allah surat al-fath ayat 23.
Jadi
, sifat suatu dalil naqli adalah sebagai pembuktian suatu dalil , dan
merupakan akhir dari pembahasan yang penjang sesuai dengan yang ditunjuk
oleh dalil , sebagai contoh pembuktian surat al-baqarah ayat 225 .
Adapun
dalail naqli adalah pengetahuan yang didapatkan dari keputusan akal
yang sehat berdasarkan cara berfikir yang telah ditentukan oleh ilmu
pengetahuan , sifat dalil ini adalah sebagai sarana penyimpulan
keterangan suatu peristiwa , bertolak dari beberapa peristiwa nyata
kemudian diambil satu atau lebih kesimpulan yang benar , sebagai contoh
adanya teori gerak , bahwasanya setiap makluh merupakan kumpulan dari
sejumlah gerakan sebagai tanda kehidupannya dengan gerakan awal dan
gerakan awal itu pasti ada penggeraknya , yaitu tuhan allah SWT .
E.Fungsi Ilmu Tauhid dalam Bidang Ilmu dan Amalan Islam
Berdasarkan
pada pengertian dan kedudukan ilmu tauhid yang mendasari semua keilmuan
dan amalan dalam islam , maka ilmu tauhid berfungsi dalam ( 2 ) bidang
yang salin terjalin antara yang satu bidang dengan yang lainnya yaitu :
- Dalam Bidang I’tiqoyah
- ilmu tauhid berfungsi memberikan dasar dan landasan mental ( basic mentalty ) yang kuat bagi keimanan seorang muslim terhadap keesaan tuhan sebagai satu-satu nya sesembahan dalam ibadah ( tauhid uluhiyah )
- memberikan penerangan yang bersifat dakwah terhadap orang-orang non muslim untuk diajak beriman secara tauhid yang tidak bercampur dengan kemusrikan dengan penjelasan yang baik dan bijaksana , baik dalam artian menolak terhadap semua ajaran ketuhanan yang salah diinterpretasikan maupun bersifat operatif terhadap pemahaman yang bersifat merusak kemurnian tauhid .
- Dalam Bidang Ijtihad
Dalam bidang ini ilmu tauhid berfungsi :
- menjelaskan dan membahas obyek ilmu tauhid secara ilmiah , dengan berdasarkan dalil naqli yang shahih dan dikuatkan dengan dalil aqli yang tidak bertentangan / menyimpang dari ajaran islam itu sendiri
- melengkapi dasar dasar / landasan ilmiah bagi keimanan orang-orang islam yang sekaligus berarti mempersenjatai mereka dengan dalil dalil ilmiyah . dengan demikian agar orang orang islam memiliki kekebalan dan kemampuan terhadap unsur unsur yang akan menggoyahkan keimanan mereka dalam bidang i’tiqad
- karena itu dengan modal tersebut diharapkan dapat jadi pandangan atau sebagai falsafah hidup bagi kaum muslimin dalam menjalani kehidupannya yang dalam hal ini sebagai ” way of life ”
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu
Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil
aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan
dari para penentang dan sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak
luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih
ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam
prilaku perebutan singgasana kekuasaan dan ilmu kalam tidak lepas dari ilmu
tauhid , ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang
lebih memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya
serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya
dengan berbagai pendekatan .
Daftar Pustaka
Rozak abdul , rosihan anwar ,ilmu kalam untuk uin , stain , ptais , bandung ,cv pustaka setia ,2009
Mulyono dan bashori , study ilmu tauhid ,malang , uin maliki press ,2010
[2] William L Reese, Dictionary of philosophy and religion, Humanities Press Ltd., USA, 1980, hlm. 28.
[3][3]
Musthafa Abd Al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-falasafah al-islamiyah,
Lajnah wa at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, 1959, h. 268.
[4] Ibid, h. 265
[5] Ahmad Hanafi,Theologi Islam ( Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 4
[6] Lihat Sahilun Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991, h. 29
[7] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, Kairo: Nahdhat al-Mishriyah, Juz III, tt, h. 2
[8] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 44
[9][9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, h. 8
[10] Ibid.
[11] Lihat Abbas Mahmout Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-agama dan Pemikiran Manusia. Terj. A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta. 1973, hlm. 32
[12] Al-Akkad, op. cit., hlm. 14
[13] Ibid., hlm. 15
[14] Ibid., hlm., 50-51
[15] Raziq, op., cit., hlm. 450
[16] Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, diterjemahkan oleh Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 1999
[17] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, hlm. 6
[18]
Mulyono dan bashori mengutip dari ahmad warson munawir .al munawir
kamus bahasa arab –indonesia (yogyakarta :ponpes al munawir ,1984
)hlm.1646.
[19]
Mulyono dan bashori mengutip dari ibnu khaldun ,muqaddimah ,terj
ahmadie thoha (Jakarta : pustaka firdaus , cetakan pertama ,1986 ) , hlm
589
[20]
Mulyono dan bashori mengutip dari syekh muhamad abduh ,risalah tauhid
,terj .Kh firdaus( jakarta:an-pn bulan bintang , cetakan pertama .1963 )
,hlm 33
[21]
Mulyono dan bashori mengutip dari husain affandi al-jisr
,al-husunulhamidiyah ,terj. ahmad nabhan( surabaya : tp ,1970 ) , hlm 6
0 komentar:
Posting Komentar