UIN SUSKA RIAU - FAKULATAS SAINS & TEKNOLOGI
TEKNIK INFORMATIKA
JENIS - JENIS AKHLAK
A. Akhlak terhadap Diri Sendiri
Pengertian
Akhlak terhadap
diri sendiri adalah sikap terhadap diri pribadinhya baik itu jasmani sifatnya
atau rohani. Kita harus adil dalam memperlakukan diri kita, dan jangan pernah
memaksa diri kita untuk melakukan sesuatu yang tidak baik atau bahkan
membahayakan jiwa.
Sesuatu
yang membahayakan jiwa bisa bersifat fisik atau psikis. Misalnya kita melakukan
hal-hal yang bisa membuat tubuh kita menderita. Seperti terlalu banyak bergadang, sehingga daya
tahan tubuh berkurang, merokok, yang dapat menyebabkan paru-paru kita rusak,
mengkonsumsi obat terlarang dan minuman keras yang dapat membahyakan jantung
dan otak kita. Untuk itu kita harus bisa bersikap atau beraklak baik terhadap
tubuh kita. Selain itu sesuatu yang dapat membahayakan diri kita itu bisa
bersifat psikis. Misalkan iri, dengki , munafik dan lain sebagainya. Hal itu
semua dapat membahayakan jiwa kita, semua itu merupakan penyakit hati yang
harus kita hindari. Hati yang berpenyakit seperti iri dengki munafiq dan lain
sebagainya akan sulit sekali menerima kebenaran, karena hati tidak hanya
menjadi tempat kebenaran, dan iman, tetapi hati juga bisa berubah menjadi
tempat kejahatan dan kekufuran.
Cara Memelihara Akhlak Terhadap
Diri Sendiri
Cara
untuk memelihara akhlak terhadap diri sendiri antara lain :
1.
Sabar
yaitu perilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai
hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya.Sabar
diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa
musibah.
2.
Syukur
yaitu sikap berterima kasih atas pemberian
nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam
bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan
bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan
menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
3.
Tawaduk
yaitu
rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda,
kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari
sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang
lain.
4.
Shidiq
artinya
benar atau jujur. Seorang muslim harus dituntut selalu berada dalam keadaan
benar lahir batin, yaitu benar hati, benar perkataan dan benar perbuatan.
5.
Amanah
artinya
dapat dipercaya. Sifat amanah memang lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis
keimanan seseorang, semakin pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara
keduanya terdapat ikatan yang sangat erat sekali. Rosulullah SAW bersabda bahwa
“ tidaj (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak (sempurna) agama
orang yang tidak menunaikan janji.” ( HR. Ahmad )
6.
Istiqamah
yaitu
sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi
berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah dinyatakan
dalam Al-Quran pada surat Al- Fushshilat ayat 6 yang artinya “ Katakanlah
bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku
bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka istiqamahlah menuju
kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang bersekutukan-Nya.”
7.
Iffah
yaitu
menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik dan memelihara kehormatan diri
dari segala hal yang akan merendahkan, merusak, dan menjatuhkannya. Nilai dan
wibawa seseorang tidak ditentukan oleh kekayaan dan jabatannya dan tidak pula
ditentukan oleh bentuk rupanya, tetapi ditentukan oleh kehormatan dirinya.
8.
Pemaaf
yaitu sikap suka member maaf terhadap kesalahan
orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Islam
mengajarkan kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus
menunggu permohonan maaf dari yang bersalah.
Manfaat Akhlak Terhadap Diri
Sendiri
1.
Berakhlak terhadap jasmani:
-
jauh dari penyakit karena sering menjaga kebersihan
-
tubuh menjadi sehat dan selalu bugar
-
menjadikan badan kuat dan tidak mudah lemah
2.
Berakhlak terhadap akalnya:
-
memperoleh banyak ilmu
-
dapat mengamalkan ilmu yang kita peroleh untuk orang lain
-
membantu orang lain
-
mendapat pahala dari Allah SWT
3.
Berakhlak terhadap jiwa:
-
selalu dalam lindungan Allah SWT
-
jauh dari perbuatan yang buruk
-
selalu ingat kepada Allah SWT
B. Akhlak terhadap Orang Lain
Sebagai muslimin
dan muslimat yang baik, tidaklah hanya menjalankan kewajiban terhadap agamanya
saja yang sebatas menjalankan ritual ibadah kepada Allah SWT, tetapi manusia
juga merupakan makhluk sosial yang pastinya akan terjun ke kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu,
berlaku baiklah terhadap sesama muslim, karena sesungguhnya muslim yang beriman
adalah bersaudara
.Rasulullah
bersabda :
“Mukmin
yang paling sempurna imannya, adalah yang baik akhlaknya di antara mereka”.
(Riwayat Abu Daud)
Di sisi lain Al-Qur'an menekankan bahwa setiap
orang hendaknya didudukan secara wajar. Tidak masuk kerumah orang lain tanpa
izin, jika bertemu saling mengucapkan salam, dan ucapan yang dikeluarkan adalah
ucapan yang baik, hal ini dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 24 yakni :
يوم تشهد عليهم السنتهم وايديهم وارجلهم بما كانو
يعملون (النور : ٢٤)
Artinya: "Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (An-Nur : 24).
Artinya: "Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (An-Nur : 24).
C. Akhlak terhadap Lingkungan
Yang
dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan. maupun benda-benda tak bernyawa. Pada
dasarnya. akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari
fungsi manusia sebagai Khalifah.
Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap
alam. Kekalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta pembingbingan.
agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaanya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak di benarkan
mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar. karena hal ini
berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan
penciptaanya.
lni
berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang
berjalan. dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian meng
bertanggung jawab. sehingga ia tidak melakukan pengrusakan bahkan dengan kata
lain. Setiap perusakanan di lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada
diri manusia sendiri.
Binatang,
Tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan
menjadi milik-Nya semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini
mengantarkan sang Muslim untuk menyadadari bahwa semuanya adalah
"umat" Tuhan yang harus diperlakukan sacara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6) : 38 di
tegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti
manusia juga. sehingga semunya seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam
tafsirnya-" Tidak boleh di perlakukan secara aniaya."
Jangankan
dalam masa damai. dalam saat peperanganpun terdapat petunjuk Al-Quran yang
melarang malakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang dan
bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa.
tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan
tujuan-tujuan penciptaan dan demi ke-maslahatan terbesar.
Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu
biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah
(QS Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia
kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak
lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal
tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan
setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban
manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya," demikian kandungan
penjelasan Nabi Saw. tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102):
8 yang berbunyi, Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggung jawabkan
nikmat (yang kamu peroleh). Dengan dernikian bukan saja dituntut agar tidak
alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut
untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan)
menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Bertakwalah
kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri
makanlah dengan baik.
Di samping prinsip kekhalifahan
yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti
penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan ". Firman Allah yang
menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran
surat al-hujurat ayat 11 adalah janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum
yang lain.
Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua
yang ada di langit dan di bumi, semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS
Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini berarti bahwa alam raya telah
ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-
baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan
diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun
harga benda-benda itu. la tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. la tidak
boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri.
Manusia da1am hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh
meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan
kepentingannya di akhirat kelak.
Akhirnya kita dapat mengakhiri
uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari
akhlaknya.
Nabi bersabda,Agama adalah hubungan interaksi
yang baik.
D. Akhlak terhadap ALLAH SWT
Setiap
muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya.
Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya , Allah
adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah
dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga
manakala hal ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan
terimplementasikan dalam realita bahwa Allah-lah yang pertama kali harus
dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika
kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam
berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak
memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki
akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki
akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk
menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah
SWT adalah :
1.
Taat terhadap perintah-perintah-Nya
Hal
pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT,
adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia
tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada
dirinya. Allah berfirman (QS.4:65): “Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena
taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah
SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya
keimanan.
2.
Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan
padanya.
Etika
kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki
rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya,
kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenya, seorang mukmin
senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan
amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah.
3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika
berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha
terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika
ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak
mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya.
4.
Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai
seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan
lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika
kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat
kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT.
5.
Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang
muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT.
baik ibadah yang bersifat mahdhah, atauppun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena
pada hakekatnya, seluruh aktivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.
dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS.51:56):
“Dan
tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.”
6. Banyak membaca Al-Qur’an.
Etika
dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah
dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan
firman-firman-Nya. Seseorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak
dan sering menyebutnya.
Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi manakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang demikian besarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
“Bacalah
Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari
kiamat kepada para pembacanya.”(HR. Muslim).Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi manakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang demikian besarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
TINJAUAN TASAWUF
A. Pengertian dan Defenisi Tasawuf
Secara bahasa tasawuf diartikan
sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian
yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi)
dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.
Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni,
cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi
muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke
seluruh belahan dunia.
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf
dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis
banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan.
Dan memang, kaum
sufi banyak berusaha
menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan
ibadat, terutama salat dan
puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama
dalam salat di mesjid.
Saf pertama ditempati oleh orang-orang
yang cepat datang ke mesjid dan
banyak membaca ayat-ayat
al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang.
Orang-orang seperti ini
adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat
dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi
ke Madinah dengan
meninggalkan harta
kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup
sebagai orang miskin, tinggal
di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu
dengan memakai suffah,
(pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun
tak mempunyai apa-apa,
berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan
dunia. Inilah pula
sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)
yang berarti
hikmat, dan kaum sufi pula
yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak
yang menolak, karena kata
sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam
bahasa Arab, dan ditulis
dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang
terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang
ingin memasuki jalan
tasawuf, ia meninggalkan
pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti
dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian
ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir
inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang
yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan
perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya
Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
B.
Asal Usul Pemakaian Istilah
Tasawuf
Tasawuf
timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen,
filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran
tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
1. UNSUR ISLAM
Ajaran
Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan
yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah
kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang
cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan al-Sunnah serta praktek
kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur'an antara lain berbicara tentang
kemungkinan manu¬sia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (QS.
al-Maidah, 5: 54); perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri
memohon ampunan kepada Allah (QS. Tahrim, 8), petunjuk bahwa manusia akan
senan¬tiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (QS. al-Baqarah,
2:110), Tuhan dapat memberikan cahaya ke¬pada orang yang dikehendakinya (QS.
al-Nur, 35). Selan¬jutnya al-Qur'an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya
tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (QS. al-Hadid, al-Fathir,
5), dan senantiasa bersikap sabar da¬lam menjalani pendekatan diri kepada Allah
SWT. (QS. Ali Imran, 3).
2. UNSUR LUAR ISLAM
Dalam
berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian
yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama
masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara
akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para
orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam
tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada
sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk
Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab
terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi
kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak
menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian adanya unsur
luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah akademik bukan
masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat
kritis dan obyektif. Kita mengakui bahwa Islam sebagai agama universal yang
dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan sangat selektif
Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang terdapat
dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran
tasawufnya dapat ber¬sentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf
yang berasal dari luar Islam itu.
a. MASEHI
Orang
Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan
ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa
tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman
Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap
fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya
Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai
oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf
itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran
tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
b. YUNANI
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai
pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir
filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai
perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh
filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah
menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi',
al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian
juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi,
Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras.
Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian
turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang
pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke
tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan
memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan
beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin
di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi
oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui
ibadat yang banyak
Pengaruh
itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan
dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa
roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke
Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan
diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan
Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
c. HINDU BUDDHA
Antara
tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan
seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara
cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkamasil
(perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia
versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah
satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang
Nirwana dalam agama Hindu. Goffiq Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan
antara koh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi
Dari
agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri.
Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam.
Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya
Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam
tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh
Tuhan.
Kita
perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen
datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang
datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan
bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya
ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari
dalam diri Islam sendiri?
d. PERSIA
KEDUDUKAN AKHLAK & TASAWUF DALAM ISLAM
A.
Akhlak
Akhlak
menurut arti bahasa sama dengan adab, sopan santun, budi pekerti atau juga
etika. Dalam suatu ayat dijelaskan:
“Akhlak adalah daya yang telah bersemi dalam
jiwa seseorang sehingga dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa
dipikir dan direnungkan”.
Menurut
pengertian para ilmu akhlaq, akhlaq ialah suatu keadaan jiwa seseorang yang
menimbulkan terjadinya perbuatan-perbuatan seseorang dengan mudah. Dengan
demikian, bila perbuatan, sikap dan pemikiran seseorang itu baik, niscaya jiwa
dan akhlaknya baik pula. Sebaliknya jika perbuatan, sikap dan pemikirannya
buruk, niscaya jiwa dan akhlaqnya buruk pula. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin
mengemukakan bahwa akhlaq adalah “daya kekuatan (sifat yang tertanam dalam jiwa
yang mendorong perbuatan-perbuatan yang spontan tanpa memerlukan pertimbangan
pikiran. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka
tindakan itu disebut akhlaq yang baik (mahmudah), sebaliknya, jika buruk disebut
akhlaq tercela (madzmumah).
Ukuran
akhlaq bukan dilihat dari segi lahiriyah saja, tetapi yang lebih penting adalah
dari segi batiniyah, yakni dorongan hati, sabda Nabi :
“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia
itu terdapat sekerat daging, jika ia baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya,
dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ingatlah sekerat daging itu
adalah hati”.
Akhlaq
dalam Islam sangatlah penting artinya, sebab Nabi Muhammad saw diutus untuk
membina akhlaq manusia. Ilmu yang mempelajari akhlaq adalah ilmu akhlaq, yaitu
ilmu yang menerangkan tentang kaidah-kaidah baik dan buruk, sifat-sifat terpuji
dan tercela.
a)
Dasar dan Tujuan Akhlaq
Landasan dasar dari akhlak adalah:
-
Al-Qur’an: QS.Al-Maidah (15-16). “Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.”
-
Hadits: Dalam hadits diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Aisyah
ra, ia mengatakan : akhlaq nabiyullah Muhammad saw adalah al-Qur’an. Hadits ini
menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah dasar yang pertama dan utama bagi akhlaq.
Sedang Allah SWT mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw sebagai teladan yang baik
dalam firman-nya: “Sesungguhnya telah ada
pada di Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu”.
Tujuan akhlak dalam
Islam, secara umum ialah terbentuknya pribadi muslim yang luhur budi
pekertinya, baik lahir maupun batin, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat, sedangkan tujuan akhlak secara khusus ada 2:
-
Membersihkan diri dari akhlaq tercela
-
Menghiasi diri dengan akhlaq terpuji
-
Mendapatkan ridha dari Allah
-
Membentuk kepribadian muslim, maksudnya adalah segala perilaku,
baik ucapan, perbuatan, pikiran dan
kata hatinya mencerminkan sikap ajaran Islam.
-
Mewujudkan perbuatan yang mulia dan terhindarnya perbuatan
tercela.
b)
Pembagian Akhlak
Berdasarkan sifatnya akhlaknya di bagi 2:
-
Akhlaq mahmudah/akhlaq terpuji.
-
Akhlaq Madzmumah / Akhlaq tercela.
B.
Kedudukan
Akhlak dalam Islam
Akhlak sangat penting dalam kehidupan karena ia
mempunyai dampak yang sangat besar dalam kehidupan manusia antara lain. Didalam
islam akhlak itu mempunyai kedudukan yang
tinggi sekali, antara lain:
-
Akhlak sebagai
the central teaching of islam (pusat ajaran islam), Dalam alquran terdapat
kurang lebih 1500 kata yang mengandung ajaran – ajaran tentang akhlak, baik yang
teoritis maupun tuntunan praktis. atas dasar ini, hampir seperempat kandungan
alquran berbicara tentang akhlak. demikian pula dalam hadits, sehingga dapat
disimpulkan bahwa akhlak menempati kedudukan yang sangan urgen dalam islam.
-
Akhlak Ukuran
Keimanan seseorang, akhlak dalam islam juga dijadikan oleh
Allah sebagi tolak ukur keimanan seseorang. kesempurnaan iman seseorang dapat
dilihat dari kebaikan akhlaknya. pernytaan ini di dasarkan pada penegasan
rasulullah SAW berikut ini:
-
أَكْمَلُ اْلمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَنًا أًحْسَنُهُمْ خُلُقًا
(رواه الترمذى).
“sesempurnanya
iman seorang mukmin adalahorang yang baik akhlaknya”
C.
Tasawuf
Tasawuf atau
Sufisme adalah ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir
dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tujuan tasawuf adalah
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya
dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang
menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka
bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya.
Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk
mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah
pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
Tasawuf
di bedakan menjadi tiga macam, yaitu:
-
Tasawuf Aqidah; yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang
menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsur-unsurnya
adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya.
Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka
memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan
mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf
Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan
satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat
Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu
indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang
disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir
tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba
(Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya).
-
Tasawuf Ibadah; yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam
masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat
pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru
al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum),
rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang
melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama;
b.
Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan
kedua;
c.
Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa
(Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai
orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para
wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi
(Al-Anbiya’). Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk
menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya
sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau
tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia
(batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah
menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
a.
Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari
hadath dan najis.
b.
Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari
perbuatan dosa.
c.
Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
d.
Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan
menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan
ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka
ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
-
Tasawuf Akhlaqi; yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada
budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain:
a.
Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya
yang buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik;
b.
Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan
mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya;
c.
Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah
yang menimpanya.
d.
Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah
SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan;
e.
Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari
riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan
yang kita lakukan.
D.
Kedudukan
Tasawuf dalam Islam
Ajaran Tasawuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya
dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi
ajaran Tasawuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawuf sering menamakan ajarannya
dengan istilah “Fadailu al-A’mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdal),
tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama.
Memang harus diakui bahwa tidak ada satupun ayat atau Hadith yang
memuat kata Sufi, karena istilah ini baru timbul ketika Ulama Tasawuf berusaha
membukukan ajaran itu, dengan bentuk ilmu yang dapat dibaca oleh orang lain.
Upaya Ulama Tasawuf memperkenalkan ajarannya lewat kitab-kitab yang telah
dikarangnya sejak abad ketiga Hijriyah, dengan metode peribadatan dan
istilah-istilah (symbol Tasawuf) yang telah diperoleh dari pengalaman batinnya,
yang memang metode dan istilah itu tidak didapatkan teksnya dalam Al-Qur’an dan
Hadith. Tetapi sebenarnya ciptaan Ulama Tasawuf tentang hal tersebut,
didasarkan pada beberapa perintah Al-Qur’an dan Hadith, dengan perkataan “Udhkuru”
atau “Fadhkuru”. Dari perintah untuk berzikir inilah, Ulama Tasawuf membuat
suatu metode untuk melakukannya dengan istilah “Suluk”. Karena kalau tidak
didasari dengan metode tersebut, maka tidak ada bedanya dengan akhlaq mulia
terhadap Allah. Jadi bukan lagi ajaran Tasawuf, tetapi masih tergolong ajaran
Akhlaq.
Dan kalau dikatakan lagi, bahwa ajaran Tasawuf sebenarnya termasuk
kelanjutan dari ajaran Mistik umat terdahulu, penulis memandang bahwa
kemiripannya tidak berarti bahwa Tasawuf dalam Islam adalah Mistik umat
terdahulu, tetapi memang banyak ajaran umat terdahulu masih dipertahankan oleh
Islam; misalnya ajaran tentang perkawinan, khitanan, jual-beli, sewa-menyewa,
pegadaian dan sebagainya.
E.
Hubungan
Akhlak dan Tasawuf
Para
ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama
tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam
tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara
membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan
perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan
bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam
tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena
dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat
pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan
manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari
takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya
dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang
membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya.
Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan
mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang
dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan
sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Menurut HArun Nasution, ketika mempelajari Tasawuf ternyata
pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis
menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan,
rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf,
sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani,
kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus.
Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan
kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana
diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf
itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji,
zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata
erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan
akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat
baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar
ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal
yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak
mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang
pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka.
Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu
berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah,
yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
Untuk
mengetahui seberapa pentingkah hubungan akhlak dengan tasawuf mungkin kita
dapat mengkaji pendapat-pendapat ulama sebagai berikut.
الأخلاق بداية االتصوف والتصوف
نهاية الأخلاق
Artinya:
“Akhlak
adalah pangkal permulaan tasawuf sedangkan tasawuf batas akhir dari
akhlak.”(
Al-kattany)
التصوف خلق
فمن زاد عليك في الخلق زاد عليك في التصوف
Artinya:
“Tasawuf
itu adalah budi pekerti, barang siapa yang menyiapkan bekal atasmu dalam budi
pekerti, maka berarti ia menyiapkan bekal atas dirimu dalam bertasawuf”.(
al-Ghazali).
Pengalaman
tsawuf yang dilakukan para sufi telah memberikan kesan kepada kita, bahwa
tasawuf merupakan ajaran yang meruang lingkup kepada hubungan
transenden; yang berarti hubungan hamba allah dan tuhannya, hal ini telah
diperkuat oleh pendapat Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi, yang mengemukakan
beberapa prinsip-prinsip ajaran taawuf, sebagaimana yang telah dikatakannya;
أصول
التصوف خمسة: تقوى الله وتباع السنة والإعراض والرضا والرجوع
Artinya;
“Prinsip-prinsip
tasawuf ada lima; yaitu taqwa kepada allah mengikuti sunnah, menahan
diri, rela dan bertaubat.”
Dari sinilah sehingga ulama tasawuf menyusun
system kehidupan yang tercermin dalam ajarannya, dengan cara mendakwah sikap
zuhud dan fakir, untuk menjauhi kehidupan mewah yang selalu membawa
manusia lalai menekuni agamanya ketika itu.
TAFAKUR & DZIKIR
A.
Masalah
Tafakkur
Tafakur
berasal dari kata Tafakkara yang artinya merenungkan atau memikirkan. Tafakkur
secara istilah ialah merenung dan memikirkan ciptaan Allah Ta’ala di
langit dan di bumi, dan mengarahkan Akal
kepada Keagungan Sang Pencipta dan kemuliaan sifat-Sifat-Nya, dikatakan
bahwa “bertafakkur adalah pangkal dari segala kebaikan”, bertafakkur adalah
pekerjaan hati yang paling utama dan paling mulia.
Allah SWT Berfirman, “ Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S 3 Ali-Imran: 190-191).
Al-Qur’an
Al-Karim banyak memberi dorongan kepada kaum muslimin bukan hanya bertafakkur,
tetapi juga bertadabbur (memahami dengan dalam sifat-sifat Allah) i’tibar,
(memahami pelajaran, pengajaran, atau ibrah), nazhr (memerhati atau
menelaah secara mendalam). Menurut Imam Al-Ghazali, Tafakkur berarti :
hadir dan munculnya dua hikmah ( ma’rifah) di dalam hati. Selain itu
juga hadir dan timbulnya hikmah ( ma’rifat) ketiga sebagai hasil
percampuran atau perpaduan dari dua hikmah tersebut, ambillah salah satu
contoh, orang yang ingin mengetahui bahwa akhirat adalah lebih baik dari dunia
ini, walaupun sekarang ini ia cenderung kepada dunia yang sekarang ini, maka ia
harus menempuh dua jalan.
Jalan pertama yaitu ia harus mendengar dari orang lain dan
kemudian ia percaya bahwa akhirat adalah lebih baik dari dunia yang sekarang
ini. Ia membenarkan lalu mengikuti perkataan orang lain itu semata-mata tanpa
melihat dan mewawas secara mendalam. Inilah yang di sebut taqlid atau
percaya buta tanpa alas an yang kuat.
Jalan yang kedua yaitu mengetahui bahwa, apa yang kekal
adalah lebih baik dan lebih utama. Berdasarkan kepada tentang kedua premis (
penyataan mendasar) ini, muncullah pengetahuan yang lain bahwa akhirat adalah
lebih baik dari dunia yang ada sekarang ini. Karena yang pertama lebih kekal
dari yang kedua. Jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang dua hal yang
terdahulu, maka pengetahuan tentang hal yang ketiga mustahil kita miliki,
inilah yang disebut sebagai tafakkur atau merenung atau berpikir secara mendalam.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak bertafakur
antara lain, Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat ke
219 dengan lafaz tatafakkaruni, Firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat ke 266 dengan lafaz tatafakkarun, . Firman
Allah dalam surat Ali Imran ayat ke 191 dengan lafaz yatafakkaru, dan sebagainya.
B.
Masalah Dzikir
Dzikir secara
bahasa berasal dari kata (Dzakaro–yadzkuru–dzikron) Artinya: menyebut,
mengucapkan, mengagungkan, mengingat-ingat. Adz-dzikru berarti sesuatu
yang mengalir melalui lisan. Terkadang diartikan dengan menyimpan sesuatu.
Dzikir secara bahasa berarti mengingat. Dzikrullah berarti mengingat dengan
memuji Allah. Al-Qur’an juga disebut dzikir, karena ia menjadi jalan mengingat
Allah. Shalat juga disebut dzikir kaena ia media mengingat Allah. Ar-Raaghib
dalam “Al-Mufradat” menjelaskan: “Terkadang dzikir diartikan sebagai
kondisi jiwa yang memungkinkanya menghafal pengetahuan yang didapatkannya.”
Oleh sebab itu, ada dua jenis makna dzikir. Dzikir yang berarti ingat sesudah
lupa, dan dzikir yang berarti ingat tanpa berkaitan dengan lupa, tapi karena
lekatnya hafalan.
Firman Allah
dalam surat ( Al-ahzab 41-42 ) “ Hai
orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.”
Pengertian dzikir disini tidak hanya terbatas pada
ucapan lisan yang mengandung kalimat-kalimat toyyibah semata. Akan tetapi yang
dimaksud dengan dzikir disini adalah segala gerak kita baik fisik maupun jiwa
yang menggerakkan hati untuk semakin dekat dengan Allah dan senantiasa
mengingat Allah. Upaya untuk bertaubat adalah dzikir, tafakur itu dzikir,
menuntut ilmu juga dzikir, mencari rizki dengan cara dan niat yang baik juga dzikir.
Intinya, segala sesuatu yang dilakukan dalam upaya untuk bertaqarrub pada
Allah.
Oleh karena itu, berdzikir akan membawa pelakunya
pada kebaikan demi kebaikan. Karena dengan berdzikir seorang muslim akan
merasakan pengawasan Allah padanya. Sehingga langkah dan gerak hatinya
senantiasa terjaga dalam membentuk pelakunya menjadi pribadi yang lebih arif
dan bersahaja. Adab terpenting dalam berdzikir adalah menumbuhkan kekhusyukan.
Khusyuk bermakna menghadirkan hati dan fikiran dalam setiap lafal dzikir yang
kita dengungkan.
Macam-macam Dzikir
Dzikir
itu ada empat yaitu :
a.
Dzikir, di mana engkau mengingat
dzikir.
Dzikirnya
kalangan awam, yaitu dzikir untuk mengingatkan kealpaan
atau mengingatkan dari kekhawatiran akan kealpaan.
b.
Dzikir engkau diingatkan melalui dzikir.
Dzikir,
dimana engkau diingatkan, baik berupa siksa, nikmat, taqarrub
ataupun jauh dari Allah, dan sebagainya, ataupun karena Allah SWT.
c.
Dzikir yang mengingatkan dirimu pada
tiga obyek, bahwa:
a.
Seluruh kebaikan datangnya dari
Allah.
b.
Seluruh kejahatan datangnya
dari nafsu.
c.
Dan keburukan datangnya
dari musuh, walaupun Allah SWT yang menciptakannya.
d.
Dzikir yang engkau sendiri yang diingat
oleh Allah SWT (Dzikir bersama Allah SWT).
Yaitu dzikirnya Allah
kepada hamba-Nya.
C.
Dzikir Sama’ dan Fana’
Secara etimologi
sama’ artinya pendengaran, menerima wahyu, melakukan panduan suara. Adapun
secara terminology mengutip istilah Ibnu Ajibah Al-Husni bahwa, Sima’atau sama’
adalah mendengarkan syair-syair dengan melodi dan musik. Simak sering di
wujudkan dalam bait-bait syair, lagu-lagu, Hymne-hymne, kasidah-kasidah,
puisi-puisi cinta yang dilakukan dengan suara merdu dan dinyayikan dengan
melodi-melodi dan suara bersama alat-alat musik, Sehingga dalam konteks Sufi,
Sama’ artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian
yang dimaksudkan untuk peningkatan Rohani dan penyucian diri.
Sedangkan fana
Dari segi bahasa berasal dari kata faniyah yang berarti musnah dan lenyap.
sedangkan secara terminologi sebagaimana yang di kutip oleh simuh bahwa
fana’ atau ecstasy adalah proses beralihnya kesadaran dari alam indrawi ke alam
kejiwaan atau alam batin.[15] Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari
penjelasan al-Junaidi bahwa al-Fana’ adalah hilangnya daya kesadaran
qalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang di
lihatnya. situasi demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat
dan berlangsung terus silih berganti sehingga tidak ada lagi yang disadari dan
di rasakan oleh indra.
Menurut Ibnu
Taimiyah, al-Fana’ yang berkembang dikalangan kaum sufi terbagi dalam tiga
bentuk, ketiga bentuk tersebut antara lain:
1.
Peleburan kehendak dan pengabdian diri
kepada selain Allah, dimana kehendaknya menurut batas-batas kehendak tuhan dan
tidak ada ke inginan selain keinginan Tuhan, tingkatan fana’ seperti ini adalah
tingkatan para Rasul, ambiya dan lainnya.
2.
Peleburan kesaksian selain Allah,
artinya pudarnya kesaksian seseorang terhadap sesuatu selain Allah SWT, yang
kadang di akibatkan oleh kehanyutan hati dan kontinyuitas dalam dzikir dan
ibadah.
3.
Peleburan wujud selain Allah, yang
merupakan fana’ yang bisa mengantarkan pada situasi hulul dan al-ittihad.
D.
Kaitan Tafakkur dengan Dzikir
Melalui tafakkur, subjek mampu memahami makna di balik peristiwa. Pir Vilayat
(2002, hal. 41) menyebut kemampuan memahami makna di balik peristiwa lahiriah
dengan istilah “akal spiritual” yang merupakan realisasi tertinggi dari para
penempuh jalan tasawuf. Akal spiritual merupakan suatu tahapan dalam meditasi
atau perenungan dimana menemukan pemahaman mengenai makna dibalik fenomena
fisik. Melalui berpikir (bertafakur), maka manusia akan sanggup melampaui
kedudukan binatang dan makhluk lainnya. Melalui tafakur, manusia mencapai
kedudukan tertinggi. Ketinggian kedudukan dan derajat manusia tidak akan
terwujud kecuali dengan memikirkan hal-hal yang paling abadi, yaitu akhirat termasuk segala sesuatu yang
mendukung keimanan.
Sedangkan dzikir membawa dampak relaksasi dan ketenangan bagi mereka
yang melakukannya (Bastaman, 2001, hal. 161). bahwa dengan berdzikir, banyak
mengingat dosa dan memohonkan ampunan Tuhan atas dosa, hal tersebut mampu
membersihkan hati. Subjek menyampaikan bahwa dengan kondisi hati yang bersih
tersebut, maka subjek mengalami pengalaman-pengalaman beragama disamping juga
mendukung tafakur.
Menurut
Bastaman menyatakan bahwa secara umum,
membersihkan hati dapat dilakukan dengan
berdzikir untuk membuka pintu penghubung antara hati dengan alam rohani. Bersamaan dengan berdzikir, diri
individu senantiasa membiasakan diri
bertafakur untuk membuka pintu
penghubung antara hati dengan alam duniawi (2001, hal. 94). Tasmara menyatakan
(2001, hal. 148) bahwa hidup manusia akan memiliki makna apabila manusia mampu
menyadari secara hakiki bahwa dunia adalah amanah Tuhan yang
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Salah satu cara memunculkan kesadaran
semacam ini adalah dengan mendidik hati
(qalb) melalui tafakur atau perenungan dengan mendayagunakan aspek
kognisi (fu’ad), supaya tidak
menyimpangkan hakikat perenungan dalam upaya mendapatkan gambaran hakiki dari
dunia.
MAQOM KENAIKAN ROHANI
I. Pengertian Maqom atau Maqamat
“Maqamat dan Ahwal” adalah dua kata
kunci yang menjadi icon untuk dapat mengakses lebih khusus ke dalam inti dari
sufisme, yang pertama berupa tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh calon sufi
untuk mencapai tujuan tertinggi, berada sedekatdekatnya dengan Tuhan, dan yang
kedua merupakan pengalaman mental sufi ketika menjelajah maqamat. Dua kata ‘maqamat
dan ahwal’ dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang selalu
berpasangan. Namun urutannya tidak selalu sama antara sufi satu dengan yang lainnya.
Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam,
yang secara terminologi berarti tingkatan, posisi, stasiun, lokasi. Secara terminologi
Maqamat bermakna kedudukan spiritual atau Maqamat adalah stasiun-stasiun yang
harus dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) sebelum bisa mencapai ujung
perjalanan.
Istilah Maqamat sebenarnya dipahami
berbeda oeh para sufi. Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya
dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapatnya berbeda satu sama lain
secara bahasa. Namun, secara substansi memiliki pemahaman yang hampir sama.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam
adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai)
kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H)
yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh
melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan
penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan
mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri
(w. 465 H) menyatakan bahwa maqam adalah keberadaan seseorang di jalan Allah
yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta
menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya. Jika diperhatikan beberapa pendapat
sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna
kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui
kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan
spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan.
Bentuk maqamat adalah
pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha
tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang
sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf memang bertujuan agar
manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari
benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi
tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang
yang berisi tingkatan-tingkatan (stages atau stations). Jumlah maqam yang harus
dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan
yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar
mengingat maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H)
berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan, yaitu:
1.
kesadaran (yaqzah)
2.
tafkir (berpikir)
3.
musyahadah,
Sedangkan
menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu:
1.
Taubat
2.
wara’
3.
zuhd
4.
faqr
5.
shabr
6.
tawakkal
7.
ridha,
Al
Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat adalah :
1.
Taubat
2.
Sabar
3.
Faqir
4.
Zuhud
5.
Tawakal
6.
Mahabah
7.
Ma’rifat
8.
Ridha,
At
Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut :
1.
Al Taubat
2.
Wara
3.
Zuhud
4.
Faqir
5.
Sabar
6.
Ridha
7.
Tawakal
8.
Ma’rifat,
Al
Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan
ada sekitar 10 maqamat, yaitu :
1.
Taubat
2.
Zuhud
3.
Sabar
4.
Faqir
5.
Dipercaya
6.
Tawadhu (rendah hati)
7.
Tawakal
8.
Ridho
9.
Mahabbah (cinta)
10. Ma’rifat
Jika kembali kepada sejarah, sebenarnya
konsep tentang Maqamat dan ahwal telah ada pada masamasa awal Islam. Tokoh
pertama yang berbicara tentang konsep ini adalah Ali Ibn Abi Thalib. Ketika ia
ditanya tentang iman ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat hal: kesabaran,
keyakinan, keadilan dan perjuangan. Akan tetapi, macam-macam maqamat yang akan
dijadikan acuan dalam bahasan ini lebih mengarah pada konsep al-Sarraj.
I.
2.
Maqom Kenaikan Rohani
Harun Nasution dalam bukunya Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam mengatakan: “Buku-buku tasawuf tidak selamanya
memberikan angka dan susunan yang sama tentang station-station (maqam-maqam)
ini”. Di sini akan diikuti pembagian dan susunan Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam
bukunya Kitab al-luma’ fi’it Thasawwuf. Dalam buku ini diketengahkan adanya
tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam kitab-kitab
lainnya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas
tingkatan - tingkatan(Maqamat) yang harus dilalui oleh seorang salik menurut
masing-masing ahli sufi terdiri dari beberapa tahapan. Masing-masing ketujuh
maqam ini mengarah ke peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam berikutnya.
Dan pada puncaknya akan tercapailah pembebasan hati dari segala ikatan dunia.
Adapun maqamat yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:
II. 2. 1 Maqom Taubat
Menurut orang sufi, yang menyebabkan
manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosas adalah sesuatu yang
kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu,
apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepadaNya, maka ia harus terlebih
dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertaubah.
Dalam beberapa literatur ahli sufi
ditemukan bahwa maqam pertama yang harus ditempuh oleh salik adalah taubat dan
mayoritas ahli sufi sepakat dengan hal ini. Beberapa diantara mereka memandang
bahwa taubat merupakan awal semua maqamat yang kedudukannya laksana pondasi sebuah
bangunan. Tanpa pondasi bangunan tidak dapat berdiri dan tanpa taubat seseorang
tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat
dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian. Secara literal taubat berarti
“kembali”. Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi
dan kembali kepada Allah. Menurut para sufi dosa merupakan pemisah antara
seorang hamba dan Allah karena dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah
Maha Suci dan menyukai orang suci. Karena itu, jika seseorang ingin berada
sedekat mungkin dengan Allah ia harus membersihkan diri dari segala macam dosa
dengan jalan tobat. Tobat ini merupakan tobat yang sebenarnya, yang tidak
melakukan dosa lagi. Bahkan labih jauh lagi kaum sufi memahami tobat dengan
lupa pada segala hal kecuali Allah.
Tobat tidak dapat dilakukan hanya
sekali, tetapi harus berkali-kali Dalam hal ini Dzu al Nunal-Mishry membagi
taubat pada dua bagian yaitu taubatnya orang awam dan orang khawas.
Lebih lanjut al-Daqqaq membagi taubat
dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu taubat kemudian inabah (kembali) dan
tahap terakhir yaitu awbah. Menurut al-Sarraj tobat terbagi pada beberapa bagian.
Pertama, taubatnya orang-orang yang berkehendak (Muridin), muta’arridhin,
thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian
ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena keagungan
Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir kepadaNya.
Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus). Adapun taubatnya ahli ma’rifat
yaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
II. 2. 2 Maqom Wara’
Kata wara’ secara etimologi mengarah
pada kata الكفِّ والانقباض yang berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam
perspektif tasawuf wara’ bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram
dan hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sejalan dengan hadits nabi:
“Diantara
(tanda) kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak
penting baginya”.
Adapun makna wara’ secara rinci adalah
meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat berupa ucapan, penglihatan,
pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim.
Seorang salik hendaknya tidak hidup secara sembarangan, ia harus menjaga
tingkah lakunya, berhati-hati jika berbicara dan memilih makanan dan minuman
yang dikonsumsinya.
Dalam risalah al-qusyairiyah banyak
membahas tentang makam wara’ beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang
hal ini. Wara’ adalah meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi
atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya. Abu bakar
as-shiddiq mengatakan “Kami tinggalkan tujuh puluh pintu menuju yang halal
lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.
Wara’ memang salah-satu sendi etika
islam yang sangat penting, oleh karena itu nabi bersabda yang artinya
“Ibadah itu sepuluh
suku, Sembilan dari padanya dalam mencari halal”.
Jadi Sembilan persepuluh dari ibadah
adalah mencari halal. Pada hadist lain nabi bersabda yang artinya :
“Hendaknya kamu
menjalankan laku wara’, agar kamu jadi
ahli ibadah”.
Laku hidup wara’ memang penting bagi
perkembangan mentalitas ke-islaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’
merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan
mentalitas (akhlak) juga merukan tangga awal untuk membersihkan hati dari
ikatan keduniaan.
Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi
lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah.
Dan wara’ batin, yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala.
Wara’ adalah meninggalkan setiap yang
berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa
yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.
II. 2. 3 Maqom Zuhud
Sesudah maqam wara’ dikuasai mereka baru
berusaha menggapai maqam di atasnya, yaitu maqam zuhud. Berbeda dengan maqam
wara’ yang pada maka dasarnya merupakan laku menjauhi yang syubhat dan setiap
yang haram, zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan
mengutamakan kesenangan duniawi. Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya
tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya.
Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri
untuk tekun beribadah ddan menghindarkan diri dari keinginan menikmati
kelezatan hidupadalah zuhud pada dunia.
Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam
dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan ikatan hati
dengan dunia. Maka di dalam tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan
secara bertingkat.
Kata zuhud banyak dijelaskan maknanya
dalam berbagai literatur ilmu tasawuf. Karena zuhud merupakan salah satu
persyaratan yang dimiliki oleh seorang sufi untuk mencapai langkah tertinggi
dalam spiritualnya. Diantara makna kata zuhud adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam al-Gazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh
darinya dengan penuh kesadaran”, adapula yang mendefenisikannya dengan makna
“berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”, “kedudukan
mulia yang merupakan dasar bagi keadaan yang diridhai”, serta “martabat tinggi
yang merupakan langkah pertama bagi salik yang berkonsentrasi, ridha, dan
tawakal kepada Allah SWT”.
Menurut Haidar Bagir konsep zuhud
diidentikkan dengan asketisme yang dapat melahirkan konsep lain yaitu faqr.
Menurut Abu Bakr Muhammad al- Warraq (w.290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga
hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf “z” berarti zinah (perhiasan atau
kehormatan), huruf “h” berarti hawa (keinginan), dan “d” menunjuk kepada dunia (materi).
Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal
ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena
semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga
jenis kezuhudan yaitu :
Pertama, Kezuhudan orang – orang awam
dalam peringkat pertama.
Kedua, kezuhudan orang-orang khusus
(kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar
hanya dipenuhi dengan akhirat.
Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus
dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama
Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka
telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah.
Sedangkan menurut al-Sarraj ada tiga
kelompok zuhud :
1. Kelompok pemula (mubtadiin), mereka
adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong
kalbunya.
2. Kelompok para ahli hakikat tentang
zuhud (mutahaqqiqun fi al-zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang
yang meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia
ini, baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
3. Kelompok yang mengetahui dan meyakini
bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa
harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi
sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
II. 2. 4 Maqom Fakir
Jika pada dasarnya wara’ berusaha
meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas, kemudian dengan zuhud
telah mulai menjauhi keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat
penting bagi kelangsungan hidupnya, di dalam maqam fakir telah sampai
puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap
apa saja selain Tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi bi’i-kulliyati‘an ma siwa
‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain
tuhan. Yang dituju dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan
persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan
pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Tuhan saja di sepanjang keadaan.
Faqir bermakna senantiasa merasa butuh
kepada Allah. Sikap faqir sangat erat hubungannya dengan sikap zuhud. Jika
zuhud bermakna meninggalkan atau menjauhi keinginan terhadap hal-hal yang bersifat
materi (keduniaan) yang sangat diinginkan maka faqr berarti mengosongkan hati dari
ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Allah, kebutuhannya yang hakiki
hanya kepada Allah semata.
Orang yang faqir bukan berarti tidak
memiliki apaapa, namun orang faqir adalah orang yang kaya akan dengan Allah semata,
orang yang hanya memperkaya rohaninya dengan Allah. Orang yang bersikap faqr
berarti telah membebaskan rohaninya dari ketergantungan kepada makhluk untuk
memenuhi hajat hidupnya. Ali Uthman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengutip
seorang sufi yang mengatakan “Faqir bukan
orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa
dari nafsu rendah”. Dia juga mengutip perkataan Syekh Ruwaym bahwa “Ciri faqir ialah hatinya terlindung
darikepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap
melaksanakan kewajiban agama.”
II. 2. 5 Maqom Sabar
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam
sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dlam zikir orang
harus mencapai maqam fakir, tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam
penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus segera melangkah ke maqam
sabar.
Sebagai satu maqam sabar dalam tasawuf
direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep yang diungkapkan dalam berbagai
pengertian. Ibnu ‘atha misalnya mengatakan (sabar adalah menerima segala
bencana dengan laku sopan atau rela). Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah
fana�� di dalam bala bencana tanpa ada keluhan.
Jadi dengan maqam sabar para sufi memang
telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu satu kesulitan
dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada keluhan sedikit pun .
itulah laku maqam sabar dalam tassawuf.
Sabar secara etimologi berarti tabah
hati. Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah disebutkan bahwa katasabar memiliki tiga
arti yaitu menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan.
Sabar menurut terminologi adalah menahan
jiwa dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan
untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam perspektif tasawuf sabar berarti
menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya serta tabah
menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar
itu separoh dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah
sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan
susah.
Makna sabar menurut ahli sufi pada
dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya. Menurut
al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu:
1. Orang
yang berjuang untuk sabar
2. Orang
yang sabar
3. Orang
yang sangat sabar.
II. 2. 6 Maqom Tawakal
Tawakkal atau tawakkul (bahasa Arab)
berasal dari kata kerja (fi’il) w-k-l , yang berarti mewakilkan atau
menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakkal berarti berserah diri
sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan,
atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Tawakkal dalam tasawuf dijadikan
washilah untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan
tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya
makna atau konsep tawakkal dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama.
Tawakkal menurut para sufi bersifat
fatalis, menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh
Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan
Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang salik jika ia meminta
lebih dari yang telah ditentukan Tuhan.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang
(sufi) yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena
di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan
segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam
semesta ini. Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam
suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut ajaran
Islam ialah menyerahkan diri kepada Allah Swt setelah berusaha keras dalam
berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah
yang Dia tetapkan.
II. 2. 7 Maqom Ridho
Setelah mencapai maqam tawakal, nasib
hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Allah,
meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain tuhan, maka
harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam ridha.
Maqam ridha adalah ajaran untuk
menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan
menjadi kegembiraan dan kenikmatan.
Pada dasarnya beberapa ulama mengemukakan
konsep ridha secara berbeda. Seperti halnya ulama Irak dan Khurasan yang
berbeda mengenai konsep ini, apakah ia termasuk bagian dari maqam atau hal.
Maqam ridha adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk
penderitaan, kesengsaraan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Dalam kitab
al-Risalah al-Qusyairiyah disebutkan beberapa pendapat ulama mengenai makna
ridha, diantaranya pendapat Ruwaim yang mengatakan bahwa :
“Ridha itu seandainya Allah
menjadikan neraka jahanam di kanannya, tidak akan diminta untuk dipindah ke
kirinya”
Abu Bakar Ibn Thahir berkata:
وسرور فرح إلا فیھ یكون لاحتى القلب من الراھیة
إخراج الرضا
“Ridha
itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal
kegembiraan dan kesenangan dalam
hatinya.”
Ibnu Khafif mengatakan: kerelaan hati
menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Allah
untuknya.
Dalam perspektif tasawuf ridha berarti
sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun keputusan
Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau tidak.
Sikap ridha merupakan buah dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa
nafsunya.
Ridha menurut al-Sarraj merupakan
sesuatu yang agung dan istimewa, maksudnya bahwa siapa yang mendapat kehormatan
dengan ridha berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna dan
dihormati dengan penghormatan tertinggi. Dalam kitabnya al-Luma’ al-sarraj
lebih lanjut mengemukakan bahwa maqam ridha adalah maqam terakhir dari seluruh
rangkaian maqamat.
Imam al-Gazali mengatakan
bahwa hakikat ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan
manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar