Senin, 14 Juli 2014

Perang Elit Pemodal 2

Pilpres 2014: Perang Elit Pemodal Bukan Perang nya Rakyat! — Bag 2
Menguliti ‘Ketegasan Prabowo’
Disisi lain, fenomenalitas Prabowo lahir saat dirinya berlagak radikal dengan mendengungkan program nasionalisasi aset-aset tambang dan moratorium hutang luar negeri dalam kampanye pemilu tahun 2009 lalu. Program ini tentu harus dikatakan baik bagi kemandirian nasional yang selama ini sudah digadaikan oleh SBY (dan pemerintahan sejak Soeharto). Namun dari iklan-iklan nya yang bertema ‘mengembalikan kejayaan Indonesia’, lahir pertanyaan: Sudah pernah kah rupanya Indonesia berjaya?
Dengan tema itu, yang tersirat dari nasionalisasi ala Prabowo justru mengarah pada masa seperti orde baru dimana Indonesia masih memiliki ratusan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang berada dibawah kendali Soeharto. Nasionalisasi yang demikian hanya akan menjamin lahirnya konglomerasi baru pribumi layaknya konglomerasi cendana di jaman Soeharto dan sama sekali tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Namun untung nya, kebohongan program (nasionalisasi) ini akhirnya dibongkar sendiri oleh Prabowo. Ketika mendapat gertakan SBY, Prabowo berkilah yang dimaksudnya bukan nasionalisasi, melainkan renegosiasi kontrak yang menguntungkan Indonesia [13].
‘Pengembalian kejayaan Indonesia’ sendiri seraya membuka lebih dalam tabir pemikiran Prabowo yang berkali-kali disampaikan, termasuk saat debat capres perdana yang lalu. Prabowo berujar bahwa ‘demokrasi hanya alat/anak tangga untuk kemakmuran, dan bukan tujuan’. Dan ini sebenarnya bukan cuma kata-kata yang asal terucap, tetapi tercantum pula dalam manifesto partai Gerindra yang ikut dibidani Prabowo. Manifesto tersebut menyebutkan: “Terkait dengan pelaksaan demokrasi yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah menghadapi pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau kebebasan yang sebebas-bebasnya. Menghadapi pilihan itu, Partai Gerindra akan mengutamakan kemakmuran rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan hanya merupakan salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan bernegara adalah kemakmuran rakyat.” [14]
Pernyataan itu mengingatkan kita bukan hanya kepada Soeharto, tetapi juga Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura) yang menjadi salah satu acuan orde baru dalam membungkam demokrasi dan kebebasan. Kesesatan manifesto ini adalah dengan mempertentangkan secara tak berdasar antara demokrasi dan kemakmuran/kesejahteraan, agar seolah-olah ada yang harus dipilih oleh rakyat. Sehingga kita perlu bertanya, dapatkah kesejahteraan dicapai tanpa demokrasi dan kebebasan?
Di pabrik-pabrik tempat dimana pelanggaran hak buruh terjadi, kesejahteraan yang secuil pun hanya bisa didapatkan dari berorganisasi nya buruh dalam serikat buruh lalu berjuang. Kita tidak dapat menyangkal itu adalah bagian dari demokrasi. Namun lebih dari itu. Kita bisa saja mendapat makanan dan minuman berkualitas sehari-hari, memiliki rumah layak, jaminan hidup hari tua, dsb yang bersifat fisik/ekonomi. Tapi apa jadinya jika kita tidak bebas keluar rumah dan berkumpul bersama teman dan kerabat kita? Apa jadinya jika kita tidak bebas mengeluarkan pendapat dan suara kita terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kita? Tidak bebas mengekspresikan nilai seni dan budaya kita? Hal ini sedikit menegaskan bahwa demokrasi dan kebebasan bukan hanya alat untuk melahirkan kesejahteraan, tetapi bahkan bagian dari kesejahteraan itu sendiri.
Kita mungkin masih bisa bersetuju jika kebebasan yang dibatasi demi kemakmuran seluruh rakyat adalah untuk mereka yang oleh karena kepemilikan dan kekayaannya ‘bebas menguasai tanah dan alam Indonesia’ yang pada hakikatnya milik seluruh rakyat untuk digunakan bagi kepentingan seluruh rakyat. Artinya membatasi kebebasan minoritas kelas pemodal dalam menggunakan kekayaannya. Tapi mari kita masuk lebih dalam, apakah itu yang sedang Prabowo maksud.
Dalam debat capres kemarin, Prabowo memberi pernyataan yang sempat menyinggung ‘pembatasan’ walau pada akhirnya retorik dan absurd. Begini katanya: “kebijakan investasi kami terbuka, kami mendukung investasi asing tapi tentunya tidak boleh mematikan ekonomi rakyat, harus kita perkuat koperasi harus kita perkuat usaha kecil dan menengah dan untuk itu kita harus mengalirkan dana yang lebih yang masif yang tidak tangung-tanggung untuk memperkuat ekonomi rakyat ini.”[15]
Sebagai seorang yang kerakyatan mungkin terdengar sedikit indah. Namun Prabowo sudah merasa pro-rakyat tanpa harus merinci lagi pernyataan nya pada: investasi asing seperti apa yang tidak mematikan ekonomi rakyat itu? Ekonomi seperti apa ekonomi rakyat itu? Bukankah hampir semua pertambangan di Indonesia menggusur ekonomi/pertanian rakyat? Jika koperasi dan UKM yang dimaksud sebagai ekonomi rakyat, koperasi dan UKM seperti apa yang sanggup menghidupi rakyat? Apakah koperasi penyalur kredit berbunga (tinggi) bagi petani dan pedagang kecil seperti yang menjamur di era SBY? Semuanya gelap. Dalam kegelapan ini, masuk lagi slogan memperkuat ekonomi rakyat dengan aliran dana massif dari negara. Tapi untuk apa dana ini? Mendorong perkembangan UMKM? Kalau didorong menjadi berdaya saing, untuk apa lagi investasi (asing)? Masih juga gelap.
Kegelapan ini bukti kalau Prabowo memang sedang beretorika. Sekaligus tanda kalau ‘ekonomi rakyat’, yakni ekonomi yang benar-benar ‘dimiliki dan digerakkan oleh rakyat’ sebenarnya bertentangan dengan investasi (asing) yang dimiliki para pemodal besar. Retorika itu menjadi absurd ketika Prabowo juga menyetujui MP3EI yang memberi karpet merah bagi investor asing [16]. Sama absurdnya saat Prabowo berjanji menghapus outsourcing tetapi memiliki perusahaan jasa outsourcing[17].
Tapi masih ada masalah lain dengan pernyataan Prabowo. Dengan mengatakan ‘investasi asing’, Prabowo seakan ingin membedakannya dengan investasi swasta nasional atau BUMN yang mungkin ‘boleh mematikan ekonomi rakyat karena untuk kepentingan nasional’. Tapi apakah kepentingan nasional sama dengan kepentingan rakyat? Apakah modal memiliki nasionalisme? Disini Prabowo seakan ingin menghindar dari kenyataan bahwa modal akan ditanam ditempat dimana ia dapat tumbuh subur, tak peduli lokasi negaranya. Keberadaan investasi asing di Indonesia merupakan bukti itu. Meluas dan berkembang nya investasi asal Indonesia di luar negeri (seperti yang juga dimiliki Prabowo) adalah bukti lainnya [18].
prabowo kartunModal swasta nasional maupun BUMN tidak lebih mensejahterakan rakyat dibanding modal asing karena ia memiliki kehendak yang sama, yakni akumulasi/pelipatgandaan modal. BUMN masih ‘lebih mensejahterakan’ karena dapat menyumbang dividen bagi negara. Tapi itu hanya dengan catatan dividen tersebut mengalir pada seluruh rakyat. Namun pengalaman era Soeharto justru menunjukkan kebalikannya. BUMN justru lebih sering menggerogoti anggaran negara karena ‘dirugikan sendiri’ oleh para elit demi kepentingan pribadi mereka, dan rakyat juga yang harus menanggung kerugiannya. Pengalaman telah mengajarkan rakyat untuk tetap waspada pada negara sebelum negara adalah rakyat itu sendiri.
Ditengah persaingan, tingkat akumulasi sangat ditentukan oleh kemampuan meminimalisir biaya produksi dengan berbagai macam jurus, termasuk ‘nasionalisme sempit’. Pemodal Indonesia yang memberi upah dibawah KHL (harus) tetap lebih buruk dibanding pemodal asing yang menetapkan standar tinggi terhadap kesejahteraan buruh. Walaupun kita tidak berdiri diatas garis hitam-putih seperti itu, tapi perlu menekankan bahwa hidup layak tidak bisa diganti dengan garuda merah atau bendera merah putih. Pemodal Indonesia sudah cukup sering mempermainkan rakyat atas sentimen nasional itu demi kepentingan bisnis mereka. Maka ketika Prabowo melanjutkan retorika nya dengan ingin membuka lahan pertanian 2 juta hektar hasil dari konversi hutan rusak, pertanyaan nya: bagaimana memastikan lahan pertanian baru (yang berguna bagi ketahanan pangan nasional) tersebut juga berguna bagi kemakmuran seluruh rakyat jika tidak ada kontrol rakyat yang menjamin kemakmuran? Jika tidak demikian, bentuk-bentuk kerja paksa seperti di jaman Jepang dapat saja terulang karena menganggap Jepang pelindung Asia. Padahal sejarah sudah berkata lain.
Dicelah slogan nasionalisme dan kerakyatan ini lah puluhan perusahaan milik Prabowo yang bergerak dibidang kehutanan/perkebunan maupun pertambangan sedang mengintip peluang [19]. Oleh karena nya, pembatasan kebebasan yang lebih mungkin dari pernyataan Prabowo hanyalah kebebasan modal asing untuk kemudian digantikan dengan kebebasan modal swasta nasional. Pembatasan kebebasan terhadap minoritas kelas pemodal adalah utopis dilakukan Prabowo karena dirinya (dan adiknya Hashim, juga rekan-rekan koalisinya) adalah juga bagian dari minoritas itu. Bagaimana mungkin Prabowo membatasi modalnya sendiri ditengah persaingan antar modal yang bersifat global? Maka dari itu, pembatasan kebebasan yang dimaksud Prabowo lebih mungkin lagi adalah kebebasan rakyat itu sendiri.
Jika demikian, Prabowo gagal mengerti akan kebutuhan vital demokrasi dan kebebasan bagi rakyat. Itu adalah dampak dari basis kelas Prabowo yang juga merupakan pemodal. Dirinya menganggap penting kebebasan berusaha bagi dirinya, tapi tidak menganggap penting kebebasan rakyat untuk memastikan kemakmurannya. Tak heran ketika ditanya tentang cita-citanya, Prabowo menjawab “mimpi saya adalah rakyat kecil bisa tertawa”[20]. Mungkin terdengar sangat manusiawi dan bersahaja. Namun sebenarnya disini tersirat bahwa bagi Prabowo kesejahteraan rakyat adalah hasil belas kasihan (yang pasti ada batasnya) dari elit-elit seperti dirinya atau sekutunya Abu Rizal Bakrie yang bertanggung jawab menenggelamkan sebagian Sidoarjo dengan lumpur dan berdampak air mata rakyat. Disini juga tersirat Prabowo senang untuk membedakan antara ‘rakyat kecil’ dan ‘rakyat besar’, yang mana kesejahteraan rakyat kecil (harus) merupakan peran dari rakyat besar yang memberi belas-kasih nya. Ini mengisyaratkan bahwa jika ‘rakyat besar’ mengalami kesulitan karena krisis, stres, atau marah karena rakyat kecil sulit diatur, maka rakyat kecil juga layak mendapat hukuman lewat pencabutan belas-kasih tersebut. Mirip seperti hubungan antara raja dan hamba.
Satu kebenaran Prabowo mungkin adalah mengenai kebocoran kekayaan negara yang memang harus diatasi. Tapi Prabowo sama sekali tidak menjelaskan letak kebocoran dan cara mengatasi kebocoran itu. Seakan-akan kebocoran itu sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa skema, tanpa perencanaan dan tanpa pihak yang bertanggung jawab. Disaat yang sama Prabowo justru merangkul pihak yang paling bertanggung jawab membuat kebocoran (atau lebih tepatnya pembocoran), yaitu bagian dari pemerintah SBY sendiri yakni Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang sekarang menjadi Cawapres nya. Terang saja Hatta langsung berkelit dengan mengatakan yang dimaksud Prabowo itu hanya potensi kebocoran [21]. Kekacauan misi langsung terasa dalam pasangan ini. Kekacauan lain yang juga terdapat pada Prabowo adalah ketika dirinya ingin menyerupai gaya Soekarno (hingga TV One sering menyandingkannya) tetapi disisi yang lain juga ingin memberi gelar pahlawan pada Soeharto yang pro imperialis dan ‘menggulingkan’ Soekarno. Ini telah menjadi awal mula dari ketidakkonsistenan Prabowo pada kata-katanya yang boombastik.
Sebelum terjun ke gelanggang politik, Prabowo yang juga merupakan tentara (kopasus) memimpin tim mawar dalam menculik beberapa aktivis sebelum kejatuhan Soeharto [22]. Kita dapat saja keluar dari kesimpulan bahwa Prabowo adalah dalang dari hilangnya puluhan aktivis 98 dengan asumsi ada tim lain yang menculiknya. Tapi pertanyaannya, atas perintah/komando siapakah penculikan yang dilakukannya? Dapatkah ia sebagai komandan kopasus memiliki insiatif ini? Dalam debat capres perdana, Prabowo berkelit dengan jawaban “tanya atasan saya”. Bahkan dalam penjelasan nya saat itu, Prabowo berkeras penculikan yang dilakukannya adalah untuk keselamatan negara dan keselamatan rakyat yang tidak berdosa. Dari posisi nya dalam reformasi, hampir pasti yang dimaksud Prabowo sebagai ‘negara’ adalah Soeharto itu sendiri. Dan yang dimaksud sebagai ‘rakyat tidak berdosa’ adalah rakyat yang tidak ikut menurunkan Soeharto. Namun, dengan menyerahkan kebenaran pada atasannya di masa lalu (siapapun yang dimaksud), Prabowo sudah gagal dari awal menjadi orang yang tegas terhadap kebenaran. Mungkin bagi Prabowo urusan menjelma menjadi Soekarno atau Soeharto, urusan benar atau salah adalah urusan nanti, yang terpenting berkuasa dulu. Dan bagi anda pendukung Prabowo, siap-siap lah untuk kecewa.
Menyinggung orde baru, kini menjadi penting bagi kita untuk melihat kembali ke belakang. Massif nya propaganda “piye kabare, enak jaman ku to?” yang mencoba merekonstruksi figur Soeharto dan orde baru sedikit banyak telah menyeret persepsi rakyat tentang lebih enak nya jaman orde baru dibandingkan sekarang. Tidak penting mengetahui siapa yang menyebarkannya, karena partai Golkar sebagai partai penguasa saat itu, dalam setiap kampanye sudah terang-terangan pula mengatakan ingin membawa rakyat kembali pada jaman orde baru. Dan dalam pemilu 9 April lalu, Golkar masih mendapat suara berkisar 15% secara nasional. Sejarah pun dituntut berbuat lebih banyak terhadap ingatan rakyat.
Luwih-kejem-jamanku-pin01Membongkar Mitos Orde Baru
Salah satu opini yang coba dibangun tentang orde baru adalah kondisi dimana semua harga murah dan rakyat sejahtera. Sehingga pesannya, walau seorang pemimpin/penguasa bertindak otoriter, lumrah adanya jika itu untuk kesejahteraan rakyat. Namun jika dikaji lebih dalam, hal ini semata-mata hanya mitos.
Sedari awal saja, orde baru sudah dibangun dari jutaan nyawa manusia yang dibantai pada tahun 1965-1966. Dan seketika itu pula modal-modal asing (imperialisme) diberi karpet merah oleh Soeharto. Padahal sejarah mengatakan, golongan-golongan yang dibantai itu juga lah golongan yang konsisten berhadapan dengan Imperialisme. Oleh karenanya orde baru dapat dilihat sebagai suatu interupsi dan pembalikan sejarah atas revolusi kemerdekaan yang dilakukan golongan-golongan oportunis yang ‘menjual’ kemerdekaan demi kepentingan Imperialis.
Rejim Soekarno memang meninggalkan tingkat kemiskinan yang tergolong parah, yakni lebih dari 40% penduduk [23]. Ini disebabkan situasi internasional (perang dingin) yang mengepung Indonesia dan faktor-faktor internal sendiri seperti kerusakan infrastruktur pasca perang kemerdekaan, pemberontakan daerah dan juga kepemimpinan nasional saat itu yang membuat kekuatan produktif masyarakat tidak sanggup ditingkatkan dengan segera. Walaupun ‘poros baru’ negara-negara bekas jajahan berhasil dibangun oleh Soekarno, namun belum ada strategi bersama dari negara-negara tersebut dalam meningkatkan kekuatan produksi bersama nya untuk mencapai suatu tingkat yang sanggup mensejahterakan rakyat di masing-masing negara.
Konon pemerintah Soekarno pun cenderung moderat dengan tidak segera melakukan nasionalisasi terhadap aset-aset Hindia Belanda yang dapat dipakai sebagai sumber keuangan negara. Bahkan Soekarno juga sempat terjebak dalam hutang IMF dan IBRD pada tahun 1953 (walaupun kemudian menarik diri dari keanggotaannya pada awal 1966) [24]. Dan akhirnya Soekarno terlambat melakukan ‘banting stir’ melanjutkan revolusi, karena ekonomi rakyat sudah lama tertekan, sedangkan kekuatan pro-imperialis sudah bersarang di banyak sudut—khususnya di tubuh Angkatan Darat [25].
Berangkat dari situasi itu, orde baru yang bergandengan tangan dengan Amerika Serikat menjadikan modal asing sebagai tumpuan dari pembangunan. Konsekuensi nya orde baru juga meniadakan demokrasi khususnya bagi golongan anti-imperialis dengan pemberangusan dan pelarangan. Dengan itu juga arah revolusi kemerdekaan dibelokkan 180 derajat ke arah ‘penjajahan gaya baru’ atau yang disebut Soekarno sebagai Neo-kolonialisme. Setiap penentangan atas kebijakan pembangunan saat itu dihadapi dengan kekerasan yang telah memakan banyak korban.
Sampai dengan 1996, orde baru (secara formal) memang menurunkan angka kemiskinan menjadi 11% (masih dengan standar yang sama: 1 dolar/hari) [26]. Namun ini diperoleh dari tumpukan hutang yang meroket hingga 67,3 miliar dolar pada tahun 1998—dari hanya 2,3 miliar dolar tahun 1969 [27]. Belum lagi pengurasan sumber daya alam lewat HPH (Hak penguasaan hutan) dan kontrak-kontrak tambang kepada banyak pemodal (yang berada di lingkaran Soeharto). Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Soekarno. Ini juga yang akan dibayar dikemudian hari.
Turunnya angka kemiskinan dikatakan sebagai hal yang formal karena orde baru tidak memberi ruang bagi data selain dari BPS yang telah dicengkramnya. Konsekuensi statistik dari setiap reijm otoriter adalah sulitnya mendapatkan akurasi. Sebab tidak ada umpan-balik atau konfirmasi data pemerintah dari rakyat yang merasakan sendiri kemiskinannya. Semua berita adalah tentang kebaikan. Ketika berpikir dibatasi, kebenaran pun hanya menjadi milik pemerintah saat itu.
Sejarah baru bersuara saat krisis (kapitalisme) berlangsung tahun 1997-1998, sekaligus bayaran dari arah pembangunan (kapitalistik) dan apa yang ditumpuk oleh orde baru: hutang dan kejahatan kemanusiaannya. Reformasi sendiri setidaknya harus dimengerti dari dua segi yang saling berkait. Dia memang membuka pintu kebebasan dalam mengakses hak-hak sipil dan politik akibat meningkatnya kesadaran rakyat atas rejim otoriter yang menghambat perkembangan sosial politik masyarakat. Tetapi disisi lain, reformasi juga merupakan desakan ‘demokrasi ekonomi’ terhadap konglomerasi cendana yang memonopoli akses-akses bisnis nasional serta menumpuk hutang dan kredit konglomerat cendana dari BI yang masih dibawah kendali Soeharto [28]. Sialnya, meskipun menumpuk hutang (yang akhirnya dibebankan pada rakyat lewat pencabutan subsidi), perusahaan-perusahaan keluarga/kerabat Soeharto masih menjadi penguasa kekayaan Indonesia [29]. Oleh sebab itu, sejak letter of intent dengan IMF awal 1998 dan UU No.5/thn 1999 tentang larangan monopoli, reformasi telah menghadirkan ‘penumpang gelap’ demokrasi bernama ‘modal asing’ yang mendorong liberalisasi.
Namun reformasi tidak bersalah hanya karena modal asing atau liberalisasi ekonomi. Orde baru juga tidak lantas benar karena memberikan subsidi. Sebagai fakta, harga-harga yang meroket naik setelah reformasi juga dibarengi dengan naiknya pendapatan rakyat, yang salah satunya disebabkan oleh semakin bertumbuh nya organisasi rakyat dan dikenal nya aksi-aksi menuntut rakyat. Tentu rakyat tidak boleh cepat berpuas karena akan banyak masalah di depan hari yang tidak dapat diselesaikan para elit pemodal Indonesia selain membebankan pada rakyat.
Akan tetapi sekarang, ketika angka kemiskinan masih tergolong sama dengan angka kemiskinan paling rendah di era orde baru yang berkisar 11%–dengan standar yang sama [30], maka mengatakan orde baru lebih baik dari era reformasi adalah upaya memundurkan kesadaran rakyat. Tingkat kemiskinan orde baru yang hanya sedikit memunculkan keresahan rakyat (berikut gejolak politik dan perlawanan rakyat) adalah wujud dari kesadaran rakyat masa itu yang jauh terbelakang dibandingkan era sekarang. Jika dulu dengan memakan nasi-tempe setiap hari rakyat sudah menganggapnya sejahtera, sekarang rakyat sudah sadar itu bentuk kemiskinan. Jika dulu tanpa memakai handphone adalah biasa, sekarang rakyat sudah sadar handphone suatu kebutuhan. Lebih jauh lagi, tingkat pemikiran dan kesadaran rakyat yang berkembang pasca reformasi pun tidak dapat diukur hanya dengan kemiskinan fisik semata.
Dengan itu berarti, anggapan bahwa orde baru lebih enak dibanding jaman reformasi sekarang tidak lain merupakan upaya menurunkan standar-standar kemajuan masyarakat dan memundurkan kesadaran rakyat itu sendiri. Hal ini tentunya umum dilakukan kelas pemodal yang tidak sanggup lagi membawa kemajuan-kemajuan pada masyarakat akibat sistem (kapitalisme) yang dipertahankannya sendiri. Sehingga ketika kita dihadapkan pada pertanyaan ‘piye kabare enak jaman ku to?’, kita harus tegas mengatakan: “Tidak! kami ingin maju!”
Bersambung..

Oleh: Kibar, Anggota KPO PRP

Read more at http://www.arahjuang.com/2014/06/19/pilpres-2014-perang-elit-pemodal-bukan-perang-nya-rakyat-bag-2/#sAtQ2bfoF2ujG2OX.99

Perang Elit Pemodal 1

Pilpres 2014: Perang Elit Pemodal Bukan Perang nya Rakyat! — Bag 1
Pemilu 2014 yang sedang berlanjut ke pemilihan presiden masih meninggalkan catatan. Angka golput yang masih meningkat dan kecurangan-kecurangan yang menjadi hantu karena tidak terselesaikan. Ketidakpuasan terhadap sistem pemilu belum bisa berbuat banyak. Walaupun di sisi lain, beberapa perlawanan rakyat sudah sering masuk pada tindakan-tindakan membakar kartu pemilih atau golput karena pemerintah angkat tangan dan tidak ada satu partai pun yang memperjuangkannya [1]. Disini terlihat pemerintahan yang lama dengan calon pemerintahan yang baru sama-sama tidak perduli pada rakyat.
Golput telah menjadi tanda bahwa rakyat sedang mencari hubungan antara kehidupan sehari-harinya dengan mekanisme demokrasi yang sedang berjalan. Jika semua calon dan semua partai tidak ada yang berkomitmen menyelesaikan masalah rakyat selain hanya janji kosong, buat apa memilih mereka? Begitu kira-kira cara rakyat berpikir. Namun kekuasaan yang tidak mengutamakan partisipasi rakyat tidak akan hirau dengan semua itu. Harus ada pemimpin –tepatnya penguasa– baru walau tidak ada calon penguasa yang mau dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat.
Perang Elit dan Fanatisme Rakyat
Sejak pemilihan presiden langsung dilakukan pada 2004, baru pertama kali ini Pilpres memformasi dua kubu besar dari awal. Prabowo-Hatta di satu kubu dan Jokowi-JK di kubu lainnya. Karena tidak ada partai yang memiliki suara diatas 20%, maka pasangan calon tersebut adalah hasil kompromi dari banyak partai yang garis politik dan program nya berbeda namun saling bernegosiasi untuk memunculkan pemimpin diantara mereka. Dengan ini Pilpres hanya akan berlangsung satu putaran. Lebih ketat, lebih tajam dan lebih tegang, semirip apa yang diistilahkan dengan ‘sudden death’.
Begitu menjamur nya ‘pasukan relawan’ kedua pasang calon demi memenangkan jagoannya (walau kesukarelaan nya patut dikaji lebih dalam) juga hal baru yang menambah panas Pilpres kali ini. Demikian hal tersebut dapat dilihat positif sekaligus gila. Positif dalam arti menunjukkan bahwa dukungan politik dapat menembus batas-batas komersial yang selama ini dikenal dalam money politic. Namun gila, karena kegigihan relawan ini sering hanya merupakan ‘persepsi’ yang tidak dibarengi pemahaman yang cukup dalam tentang siapa calon, program yang akan diusung dan bagaimana membangun kontrol terhadap calon.
Rakyat akhirnya diseret kedalam garis perbedaan yang demikian mencolok dari pemilu-pemilu sebelum nya. Deklarasi dukungan bak kejar-mengejar datang dari rakyat kepada kedua pasang calon. Atmosfir persaingan pun jatuh ke setiap level masyarakat dan melahirkan sebentuk fanatisme. Isu dan hinaan yang saling bersahutan tiap hari nya hadir ditengah rakyat. Di media-media sosial, selapisan masyarakat yang sebelumnya absen dalam politik tiba-tiba ikut menjadi ‘tim sukses’ dengan mengagung-agungkan pilihannya sembari mengumbar kejelekan lawan pilihan nya dengan argumen yang sporadis.
Di surabaya, dua tukang becak yang sama-sama bernasib susah karena berasal dari kelas tertindas sampai rela menyakiti sesama nya demi capres yang bahkan sama sekali tidak pernah ia kenal [2]. Dalam car free day di Jakarta kemarin, dua kubu pendukung pun nyaris bentrok [3]. Demikian pula pertemanan suatu kumpulan tak sedikit yang retak oleh kompetisi yang diklaim salah satu elit reformis gadungan Amin Rais sebagai ‘perang badar’ [4].
Perang memang selalu berpotensi melahirkan fanatisme. Terkadang rakyat yang termobilisasi memang dijebak dalam pilihan yang ada tersebut tanpa mau atau bisa mengevaluasinya berdasarkan fakta karena ‘dirasa’ merugikan kepentingan nya. Kita mungkin masih akan membela seseorang yang lupa membuang sampah pada tempatnya jika dalam keseluruhannya dia adalah pecinta kebersihan. Tetapi fanatisme memang bekerja untuk menutup dan melupakan seluruh kenyataan yang dianggap tidak menguntungkan. Baik selama perang maupun konsekuensi setelahnya. Bahkan, anggapan menguntungkan dan merugikan itu sering hanya sebentuk ilusi.
Fanatisme memang merupakan keyakinan yang tinggi terhadap suatu pihak/kubu yang tidak berdasar pada teori atau jauh dari fakta. Dalam bahasa lain ini disebut berlebihan. Untuk memperkuat keyakinannya, satu-satunya jalan adalah menutup mata atas kenyataan atau membuat ada apa yang sebenarnya tidak ada. Isi kampanye yang membodohkan berikut media-media nya bertanggung jawab atas ini. Jika di media kampanye yang satu kesalahan Jokowi adalah mencium tangan Megawati, di media yang lain kesalahan Prabowo adalah tidak memiliki istri. Hasilnya: Prabowo tegas, Jokowi sederhana. Cuma itu. Jauh dari apa yang seharusnya melandasi kepemimpinan, yakni program dan metode penyelesaian masalah rakyat yang bukan hanya terdapat dalam kertas visi-misi, tapi tercermin dari cara berpikir dan bertindak nya.
Sekarang kita harus bertanya: siapakah mereka hingga rakyat harus mendukung dan membela nya mati-matian? Mengeluarkan keringat untuk suatu hal yang tidak tahu cara mengontrolnya? Lalu merelakan diri untuk menutupi kenyataan?
Untuk mengetahui siapa para calon, kepentingan apa yang ada di belakang nya dan apa yang akan dilakukannya, kita perlu menukik tajam ke wilayah paling dasar dalam karakter kepentingan mereka untuk bersaing merebut kekuasaan. Tidak mudah, karena kita memang dikelilingi beragam berita media (dari para pemilik modal) yang menggiring kita pada pemahaman yang dangkal dan keliru, serta membekali kita pada fanatisme. Tapi tidak ada jalan lain untuk mendapat kebenaran selain bersusah-payah menemukan jalur alternatif dari dua jalur yang tidak akan menyampaikan kita pada tujuan kemanusiaan yang sejati. Karena jika tidak, beruntung lah elit-elit politik yang menemukan rakyat dalam fanatisme, karena itu berarti, rakyat sedang menjilati borok-borok mereka hingga bersih sehingga mereka bisa tampil lebih baru untuk menindas rakyat di periode selanjutnya.
Sebagai sebuah fakta, dua calon yang tersedia dalam Pilpres 2014 kali ini adalah dua yang paling fenomenal dan terbaik dari perwakilan elit (pemodal) saat ini karena kemampuannya mengorganisir barisan dan meyakinkan rakyat. Jika prabowo adalah pengusaha, Jokowi pun pengusaha. Keduanya adalah bagian dari kaum pemodal yang hidup dari penghisapan terhadap kaum buruh. Tapi bukan itu yang terutama membuatnya buruk bagi masa depan rakyat. Melainkan pandangan dan gagasan politiknya yang tidak keluar dari batas sistem ‘penindasan manusia atas manusia’ sebagai akar dari masalah rakyat saat ini. Dan kini, keduanya bersaing menunjukkan siapa yang paling sanggup menundukkan rakyat pada sistem penindasan itu.
Persaingan mereka adalah cermin dari kapitalisme itu sendiri. Modal harus bersaing dengan modal lainnya untuk bisa hidup dan lolos dari krisis. Dalam politik, modal nya adalah kepercayaan rakyat. Siapa yang lebih dipercayai rakyat akan lebih mudah mempertahankan sistem, siapa yang lebih dekat dengan negara akan lebih berwenang mengatur kelancaran (akumulasi) modal mereka serta bertanggung jawab melindungi sistem yang ada. Sehingga secara mendasar, mereka tidak pernah benar-benar bermusuhan jika itu berhadapan dengan rakyat yang menolak ditindas atau mengganggu sistem yang mereka pertahankan sekarang.
jokowi kartun
Menguliti ‘Kesederhanaan Jokowi’
Fenomenalitas Jokowi awalnya relatif biasa saja. Hanya berhasil merelokasi PKL di kota Solo dengan mengajak dialog dan makan puluhan kali. Cara yang kemudian dinilai sangat persuasif dan demokratis ini dinilai baru dari kebijakan-kebijakan penggusuran PKL selama ini. Walaupun ternyata kebijakan ini juga menghabiskan anggaran puluhan milyar rupiah yang jauh dari anggaran relokasi pada umumnya. Ditambah lagi, Jokowi juga menginisiasi program sekolah dan kesehatan gratis bagi warga miskin Solo yang ternyata tidak berdampak pada pengurangan angka kemiskinan selama kepemimpinannya [5]. Ini mungkin konsekuensi dari program unggulan Jokowi yang dikatakan dalam visi-misi nya adalah pendidikan dan kesehatan yang mengesampingkan ekonomi. Popularitas yang didapat Jokowi melalui program yang “biasa-biasa saja” justru meninggalkan hutang yang pelunasannya bergantung pada kucuran pemerintah pusat [6].
Kisah pun berlanjut ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Walaupun dalam penggusuran waduk pluit sempat terjadi dialog (yang tidak menyelesaikan persoalan), metode ‘blusukan’ Jokowi tiba-tiba hilang saat penggusuran Taman Burung atau penggusuran pedagang stasiun dilakukan. Tidak ada pendekatan atau kunjungan apapun yang memosisikan pedagang kecil sebagai rakyat DKI Jakarta yang berhak hidup selayak manusia. Kalau ketiadaan waktu yang mungkin mau dijadikan alasan, mengapa rakyat juga tidak diberi waktu sampai Jokowi ada waktu untuk berdialog? Akhirnya kekerasan juga solusi yang diambil, sama seperti yang terjadi beberapa hari lalu dalam penggusuran PKL di Monas. Jauh dari apa yang digembar-gemborkan sebagai persuasif dan demokratis.
Walau PAD berhasil ditingkatkan dengan menggenjot pajak, hutang masih jadi tumpuan utama Jokowi. Semua proyek infrastruktur utama tidak ada yang lepas dari hutang: MRT pinjaman dari pemerintah Jepang, project Monorel dari pemerintah China, dan pengerukan saluran air dari bank dunia. Di tahap awal saja, total hutang luar negeri untuk membiayai tiga proyek infrastruktur itu mencapai Rp35 triliun [7]. Suatu hutang yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan yang pembayarannya akan ditanggung juga oleh rakyat di kemudian hari.
Kalau untuk pembangunan infrastruktur Jokowi mengandalkan pada hutang (yang harus ditanggung rakyat dan pemerintah setelahnya), apa yang istimewa? Bukankah setiap pemerintah berkuasa melakukannya? Lalu dimana ‘kemandirian nasional’ atau ‘berdikari yang (katanya, melalui visi-misinya) membedakannya dengan pemerintah Soeharto sampai SBY yang hingga hari ini telah meninggalkan hutang pada rakyat sebesar Rp 2.422 triliun? [8]
Tapi media-media massa (yang dikuasai pemodal) memang tidak bisa berpikir sejauh itu. Metode ‘blusukan’ yang diterapkan Jokowi masih dieksploitasi dan dianggap sebagai sebuah oase dari birokratisme dan elitisme pejabat. Dengan itu, rakyat seakan ingin dihipnotis untuk tetap miskin asal berdekatan dengan pemimpin nya (baca: merakyat). Sama hal nya dengan tema ‘sederhana’ dalam kampanye Jokowi yang tidak membawa gagasan apa-apa selain mendorong rakyat untuk bersuka rela mengetatkan ikat pinggang nya. Persis seperti saat dia menetapkan upah minimum DKI Jakarta yang jauh dari tuntutan kaum buruh yang diajukan melalui perhitungan ilmiah [9].
Saat buruh memperingati hari buruh internasional (Mayday), Jokowi malah justru menyindir dengan mengajak buruh menggunakan dana aksi tersebut untuk membeli mobil ambulance [10]. Ini sama artinya Jokowi mengajak buruh yang diperas siang malam oleh para pemodal untuk lupa pada hari bersejarahnya dan berdiam diri saja sampai kedatangan ratu adil. Atau dalam bahasa lain Jokowi mengatakan, perjuangan tidak lah perlu dan membuang tenaga. Kalaupun ingin berjuang, bukan lah pemerintah yang harus dituntut, tapi ‘mental’ diri kita masing-masing. Itu juga yang dilakukannya saat buruh menuntut revisi upah minimum DKI Jakarta. Jokowi yang persuasif dan demokratis itu tak bergeming menemui buruh. Bahkan dirinya seakan melecehkan buruh yang mengancam menginap dengan mengatakan “iya silahkan kalau mau nginap, asal jangan minta kasur sama makan saja” [11].
Nampaknya ini memang berkesesuaian dengan ‘revolusi mental’ yang ditulisnya. Bagi Jokowi, jika demikian, masalah mendasar Indonesia terletak pada manusia nya (yang perlu di revolusi), bukan pada sistem nya. Untuk itu juga mengapa Jokowi berkali-kali menyebut pendidikan dan kesehatan sebagai program utama nya membangun Indonesia. Tujuannya, kata Jokowi, agar produktivitas masyarakat meningkat [12].
Program ini tentu terdengar bagus di permukaan. Mungkin tidak ada satu orang pun di republik ini yang tidak menyepakati program pendidikan dan kesehatan sebagai suatu hal yang pokok. Tapi hal ini tidak berarti apa-apa saat pendidikan tidak dilandasi (atau bahkan dipisahkan) dengan program kesejahteraan rakyat. Apalagi jika hal itu untuk membenarkan masalah pokok Indonesia adalah terletak pada ‘produktivitas manusia’ yang harus digenjot oleh ‘pendidikan formal’. Kealpaan menghubungkan pendidikan dan kesejahteraan ini lah yang membuat penekanan berlebih atas pendidikan dan kesehatan ala Jokowi menjadi retorika. Konon lagi jika ini disederhanakan pada ‘kartu-kartu’ semata.
Diatas telah ditunjukkan, program pendidikan dan kesehatan bagi warga miskin Solo semasa pemerintahan Jokowi tidak serta-merta menurunkan angka kemiskinan. Seseorang pun tidak akan bertambah pintar dan produktif lewat jaminan pendidikan jika tidak ada jaminan atas pangan yang bergizi baik. Diluar itu, Jokowi juga tidak menjawab mengapa tingkat putus sekolah masih mencapai jutaan anak usia sekolah ditengah meningkatnya anggaran pendidikan; mengapa pengangguran dari lulusan ‘pendidikan tinggi’ tiap tahunnya justru meningkat.
Dengan demikian dalam pandangan Jokowi, sesuai ‘revolusi mental’ nya, sumber masalah rakyat terletak pada produktivitas nasional yang rendah, yang (seakan-akan hanya) berasal dari produktivitas manusia nya, dan yang (seakan-akan hanya) dapat dijawab dengan pendidikan formal. Jokowi gagal melihat produktivitas dari sudut peningkatan teknologi yang hari ini dimonopoli, gagal juga melihat bahwa ketika pun produktivitas meningkat (melalui ukuran pertumbuhan ekonomi misalnya), ‘kue pertumbuhan’ tidak dinikmati secara merata. Dan hal ini sudah ditunjukkan lewat contoh produktivitas buruh dalam menuntut UMP terakhir.
Namun ketika menyinggung pemerataan ekonomi, Jokowi justrukembali berputar untuk menumpukan nya pada investasi yang menurutnya akan didorong ke daerah-daerah. Artinya, kembali menyerahkan kesejahteraan rakyat pada modal asing/swasta yang telah berkali-kali gagal dalam pemerataan. Dan memang begini lah keterbatasan Jokowi sebagai elit politik yang merepresentasikan kelas pemodal itu sendiri. Sebagai pemimpin yang dikatakan ‘lahir dari rakyat’ Jokowi gagal dari awal untuk berdiri diatas masalah-masalah rakyat. Jadi jika anda pendukung Jokowi, bersiap-siaplah untuk kecewa.
Bersambung..

Oleh Kibar, Anggota KPO PRP

Read more at http://www.arahjuang.com/2014/06/18/pilpres-2014-perang-elit-pemodal-bukan-perang-nya-rakyat-bag-1/#eAckPgafQfBJmKVg.99

Rezim Apartheid Mengamuk di Palestina

Rezim Apartheid Mengamuk di Palestina


Kekerasan militer terbesar di Tepi Barat yang Diduduki dalam waktu lebih dari satu dekade telah mengakibatkan delapan rakyat Palestina tewas dan lebih dari 130 orang terluka. Ribuan rumah telah digrebek dan lebih dari 560 rakyat Palestina telah ditangkap dan ditahan tanpa tuduhan atau pengadilan.
Diantara mereka yang ditangkap adalah anggota Dewan Perwakilan Palestina, 50 mantan tahanan politik yang dilepaskan saat pertukaran Gilad Shalit dan mantan tahanan politik serta peserta mogok makan, Samer Issawi.
Serangan udara juga telah mebombardir Jalur Gaza. Kekerasan militer, yang diberi nama “Operation Brother’s Keeper” oleh kekuatan pendudukan Israel, dilancarkan setelah dugaan penculikan tiga pemuda pemukim Israel pada 12 Juni.
Serangan tersebut dikatakan untuk menemukan dan menangkap mereka yang bertanggung jawab atas dugaan penculikan, namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah membuat jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk melemahkan “pemerintahan persatuan” teknokratik Palestina baru yang dibentuk oleh Fatah dan Hamas pada tanggal 2 Juni. Netanyahu telah berulang kali menyalahkan Hamas atas dugaan penculikan, dan mengklaim bahwa Israel memiliki “bukti yang jelas” bahwa organisasi Hamas bertanggung jawab.
Agensi polisi rahasia Israel Shin Bet pada tanggal 26 Juni menyebutkan dua orang mantan tahanan politik Palestina sebagai terduga penculik. Satu-satunya bukti yang ditunjukan adalah bahwa mereka anggota Hamas dan telah menghilang sejak dugaan penculikan tersebut terjadi. Hamas telah menyangkal keterlibatan.
Seorang Jurnalis Ron Ben-Yishai, pada tanggal 27 Juni disebuah artikel yang diterbitkan di situs berita bahasa Inggris untuk harian berbahasa Ibrani terbesar di Israel, Yedioth Ahronot, mencatat bahwa nyatanya Shin Bet tidak memiliki “petunjuk yang kuat“. Namun dengan menerbitkan nama dan foto dari kedua orang tersebut telah “melayani diplomasi Israel, terutama untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, karena hal itu memberikan bukti (tuduhan) bahwa Hamas yang bertanggung jawab untuk (dugaan) penculikan terhadap ketiga anak”.
“Ini adalah persis yang dibutuhkan oleh Netanyahu untuk merubah opini public di Eropa dan AS melawan rekonsiliasi antara Otoritas Palestina dan Hamas.” Sebuah alasan tambahan untuk menyebutkan nama dari kedua orang tersebut, menurut Ben-Yishai,” untuk membuktikan bahwa Shin Bet membuat kemajuan dan tidak meraba-raba dalam kegelapan”.
Media massa Israel yang lainnya telah melaporkan bahwa operasi militer Israel telah – setidaknya sebagian – direncanakan sebelum tiga orang pemukim Israel tersebut hilang. Kantor berita dalam bahasa Ibrani Hadrei Hadarim mengutip perwira militer senior Israel yang mengatakan bahwa tujuan dari operasi tersebut bukanlah pembebasan dari pemukim Israel yang diduga diculik namun “untuk memprovokasi (Palestina) agar menciptakan kekacauan dan kemudian menekan mereka yang menyebabkan kekacauan”.
Kekerasan Israel termasuk juga invasi berulang kali terhadap universitas-universitas Palestina, termasuk Universitas Birzeit dekat Ramallah dan Arab American University di Jenin. Di Bethlehem, tentara Israel menggunakan plaza utama dari Universitas Ahliya sebagai tempat untuk menahan rakyat Palestina yang ditutup matanya yang ditangkap saat penggrebekan di kamp pengungsi Dheisha. Di Universitas Al Quds di Jerusalem Timur yang diduduki, kekuatan Israel menembakan gas air mata, melukai banya mahasiswa.
Universitas Birzeit menyebutkan aksi Israel sebagai “agresi barbar”. Pernyataan sikap tanggal 19 Juni dari universitas tersebut mencatat bahwa invasi terhadap kampusnya adalah “sebuah serangan terang-terangan terhadap hak untuk pendidikan”.
Otoritas Palestina, dipimpin oleh pemimpin Fatah Mahmoud Abbas, telah berada dibawah kritik terus menerus karena melanjutkan “koordinasi keamanan” dengan Israel. Kerjasama intelijen dan layanan keamanan Otoritas Palestina yang didanai AS adalah alat untuk menindas perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan dan kebijakan apartheid Israel. Abbas mengatakan pada jurnalis Israel pada bulan Mei bahwa kerjasama tersebut adalah “suci“.
Pada tanggal 22 Juni, ketika kekuatan Israel menginvasi Ramallah, pemuda Palestina yang berusaha melawan mereka juga mengarahkan kemarahan mereka terhadap Otoritas Palestina, melemparkan batu ke markas polisi Otoritas Palestina. Serangan tersebut terjadi tiga hari setelah polisi Otoritas Palestina memukuli ibu dan istri dari tahanan politik Palestina yang ikut dalam mogok makan. Di Hebron, kota yang paling buruh diserang oleh kekerasan militer Israel saat ini, rakyat Palestina juga telah melancarkan protes menuntut diakhirinya “koordinasi keamanan“.
Protes terhadap kekerasan Israel tidak hanya terjadi di Tepi Barat, namun juga terjadi didalam Israel.
Oleh : Kim Bullimore.
(Diterjemahkan oleh Ignatius Mahendra Kusumawardana dari Redflag).

Read more at http://www.arahjuang.com/2014/07/10/rezim-apartheid-mengamuk-di-palestina/#aRzwZr03A1eK5Fzo.99

Minggu, 13 Juli 2014

Adakah ? (Save Palestine)



Adakah….?
GPMD Parepare & FKSP Polman


Ledakan terdengar lagi di tanahku
Aku di buat takut karenanya
adik-adik ku di buat menjerit menangis karenanya
orang tuaku kaget dan kebingungan karenanya
tapi …. Ada kah kau mendengarnya ?

Guru kalian pastinya pernah bertanya
tentang apa cita-cita kalian
Aku pun sama….

Aku ingin jadi pilot….
tapi… kini ribuan pesawat menyerbuh tanahku
membuatku takut dan tak mau melihat pesawat lagi

Aku ingin jadi dokter….
tapi mengapa begitu banyak darah
yang harus ku ubah menjadi air suci perdamaian
mengapa begitu banyak tangis
yang harus ku ubah menjadi tawa

Dulu Aku ingin jadi tentara
tapi mengapa tentara di tanahku menembaki teman-temanku
teman-teman sepermainanku yang tak berdosa sama sekali….

Gemuruh terdengar lagi di tanahku
sekolahku kini hanya tinggal kenangan
tempat bermainku kini penuh dengan serpihan rudal asing
rumahku kini hanya puing-puing berserakan
tanahku kini benar-benar telah menjadi tanah
tapi…. Adakah seperti dengan tanahmu ? 

Aku tak butuh dongengan darimu
yang kau sendiri tak pahami
aku, temanku, adik kakakku, orang tuaku dan tanahku
butuh Aksi darimu….

SAVE PALESTINA

Gelapku dan Cintamu



Gelapku dan Cintamu


Gelap tak hanya menguntai dari belakang
tapi.... kini ada dalam jiwa yang tenang
meraung-raung bak tikaman samuderai selatan
terperangkap hingga sunyinya kegelapan

Pujinya kini tak mampu lagi ku bendung
wahai cinta jangan ucap yang tak berkata

Jika benar tujuh september adalah cinta
tapi mengapa gelap tak urung menghilang
jika benar tujuh september adalah kasih
tapi mengapa sunyi masih saja terasa

Kini ku tau yang kau mau
kini ku dapat yang kau impikan
gelapku dan cintamu kini beradu dalam sukma
hingga salah satu darinya pergi dan tak kembali

Jumat, 04 Juli 2014

Cara Membagi Koneksi Internet Ke PC lain W 8

Cara Membagi Koneksi Internet Ke PC lain W 8

Sharing koneksi internet pada Windows 8 memang agak sulit, tak semudah pada Windows 7. Saya akan menyampaikan salah satu cara untuk Sharing Koneksi Internet di Windows 8. Ini hanya salah satu cara yang mungkin masih banyak lagi cara yang lainya.
Cara ini saya dapatkan dari hasil searching lewat Google. Jika sobat ingin cara yang lainya untuk sekedar menambah ilmu silakan sobat searching juga lewat Google atau search engine lainya.
Sebelum saya menemukan cara ini, dalam sharing internet di Windows 8 saya menggunakan Software Connectify, memang cocok sekali untuk Windows 8 yang sulit dalam Sharing koneksi internet. Karena saya tidak mau memperbanyak software yang terinstal pada PC hanya untuk hal-hal seperti ini yang menyebabkan semakin beratnya kinerja RAM dan membuat PC menjadi lambat, maka saya cari cara lain hingga didapatkanlah cara seperti ini.

Cara ini memang berhasil pada PC yang saya miliki. Namun ada juga yang berkomentar bahwa cara ini tidak berhasil pada PC-nya.

Jika sobat ingin mencoba cara ini, berikut langkah-langkahnya:
1. Masuk pada pengaturan Network and Sharing Center. Contoh: Klik kanan pada icon Internet Access >> Pilih Open Network and Sharing Center.


Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

2. Pilih/klik pada Change adapter setting.

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

 3. Klik kanan pada koneksi yang akan sobat bagikan, saya berikan contoh pada modem. Klik properties.

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

4. Akan muncul jendela properties. Berikan centang pada "Allow other network users to connect through this computer's internet connection". Pilih media koneksi yang sobat inginkan, saya contohkan disini dengan Wi-fi. Setelah itu klik setting.

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

5. Lalu sobat pilih dan berikan centang pada server yang sobat inginkan untuk berbagi koneksi. Saya juga tidak mengeti dengan server-sever ini, jadi saya centang semuanya. Jika sobat ada yang mengerti, boleh berbeda. Lalu klik OK setelah selesai memilih, dan simpan pengaturan Network and Sharing Center yang telah diubah.

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

6. Kemudian, sobat masuk ke Command Prompt dengan Administrator. Contoh caranya: Klik kanan pada sudut kiri bawah layar komputer atau pada Menu Start Windows 8 >> Pilih Command Prompt (Admin). Lalu akan muncul peringatan karena sobat akan merubah pengaturan pada System Utama. Sobat Klik "Yes".

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

7. Kemudian, sobat harus cek dahulu apakah PC sobat support dengan hosted network. Caranya, setelah muncul jendela Command Prompt, ketikan perintah berikut:

netsh wlan show drivers

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

Jika tidak terdapat tulisan "Hosted network supported = yes", dipastikan cara ini tidak akan bisa dilakukan pada PC sobat, dan saya tidak tahu cara mengatasinya.

8. Jika tidak ada masalah, kali ini kita akan membuat Wireless Ad Hoc Koneksi Internet, orang menyebutnya. Tapi saya pun tidak tahu pengertian istilah tersebut. Pastikan Wi-Fi PC sobat dalam keadaan aktif. Lalu langsung saja ketikan perintah berikut:

netsh wlan set hostednetwork mode=allow ssid="Nama PC Koneksi" key="Password Keamanan"


Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

Ubah sesuai dengan keinginan sobat, Nama Koneksi PC dan Password Keamanan agar tidak siapa saja dapat mengambil koneksi internet sobat. Jika berhasil akan muncul keterangan di bawahnya seperti pada gambar di atas.

9. Untuk memulai Sharing Koneksi, sobat masukan perintah berikut:

netsh wlan start hostednetwork


Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

Akan muncul keterangan di bawahnya "the hosted network started".
Sekarang coba aktifkan Wi-Fi PC teman sobat, apakah koneksi dari PC sobat bisa diterima teman sobat. Lalu jika teman sobat akan mengambil koneksi dari PC sobat, maka teman sobat harus mengetikan kode keamanan yang telah sobat tetapkan.
Ingat, Sobat harus mengetikan perintah diatas setiap kali akan melakukan sharing koneksi. Karena setiap kali komputer dimatikan, hosted network akan mati secara otomatis.

10. Untuk mematikanya secara manual, sobat ketikan perintah berikut:

netsh wlan stop hostednetwork


Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

Akan muncul keterangan "The hosted network stopped" maka sharing koneksi telah mati.

Demikian pembahasan Cara Sharing Koneksi Internet di Windows 8 saya anggap selesai. Semoga berhasil pada PC sobat. Untuk tambahan, cara mengecek status Sharing Koneksi ketikan perintah berikut:

netsh wlan show hostednetwork , akan muncul keterangan Started atau Not Started.
Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork

Sharing Koneksi Internet di Windows 8 dengan Hostednetwork
#Memang cara ini agak ribet. Sobat Harus hafal pengetikan perintah yang telah disebutkan diatas. Gak apa apa lah, saya yakin sobat akan mudah untuk menghafalnya.

 photo tyuuu_zpsc6ef6817.jpeg"/>" /> KPA photo 10169318_1490733947824313_8365615283135808455_n_zps90846386.jpg" /> Ame Mayday photo 20140502_110353_zpscef26929.jpg" /> gpmd photo 1012032_1446233695607672_1066147129_n_zps3f4d6c09.jpg" />  photo nbv_zpsc8429ade.jpg"/>" /> gpmd4 photo 1491_678730012152865_1221172235_n_zps4dfde858.jpg"/>" /> gpmd3 photo 1491_678730012152865_1221172235_n-Salin_zpsf038dc5f.jpg"/>" /> gpmd2 photo 1491_678730012152865_1221172235_n-Salin-Salin_zps3b3d0b92.jpg"/>" />  photo --9-98-89-98-967_zpsb0261f2e.jpeg"/>"/>" />