Rabu, 02 Juli 2014

Sepotong Malam Untuk Cinta dan Tuhan

Sepotong Malam Untuk Cinta dan Tuhan


Jika hidup ini adalah misteri. Dimana sudah diciptakan sedemikian rupa bahkan jauh-jauh hari sebelum kita ada. Dengan detil tanpa cela dan rancangan super sempurna yang bahkan tak mampu dilampaui akal dan otak manusia yang digadang-gadang telah berevolusi lebih cepat dari dari makhluk hidup lain. Aku menyebutnya dengan takdir. Bukan hanya manusia bahkan sebuah partikel pun punya takdirnya sendiri. Takdir yang misterius, tak bisa diterka-terka, tak sanggup dihitung-hitung apalagi hanya ditebak. Mungkin kaum atheis sedikit berbeda. Mereka menggangap kelahiran, kematian dan segala apapun yang terjadi hanyalah kebetulan semata. Tak ada urusan dengan segala hal yang tak dapat dicerna dengan logika. Seperti mereka menggangap dunia ini memang terjadi begitu saja. Mereka hanya bisa percaya pada apa yang bisa otak percaya. Urusan takdir, misteri ataupun penciptaan mungkin hanya diperuntukan untuk orang yang di dadanya masih ada secuil iman. Dan misteri hidup yang telah dirancang jauh-jauh hari itu tengah kujalani. Aku belum menemukan alasan mengapa tersudut di kontrakan sumpek ini. Tidur berdesak-desakan seperti kelelawar. Dengan cuaca Jakarta yang selalu panas membuatku seperti dimasukan dalam panci yang mendidih. Entah kenapa membuatku rindu rumah, homesick kah istilahnya?
Padahal baru dua bulan aku pindah ke Jakarta. Dengan cita-cita setinggi langit dan semangat meletup di dada kutinggalkan kampung halaman hanya bermodal ijazah SMA. Namun, Jakarta tetaplah Jakarta. Belas kasih bukanlah sifatnya. Aku bekerja seadanya, dari pagi sampai malam. Cukup dua bulan saja, hanya dua bulan Jakarta mampu merontokkan bintang mimpi di langit yang kurangkai sejak dulu. Menjatuhkan mimpiku sampai di titik nadir. Hingga akhirnya kini kutemukan diriku tersudut di kontrakan ini. Kontrakan dua lantai dimana lantai bawah menjadi multifungsi juga sebagai tempat parkir motor para penghuninya. Aku yang tinggal di lantai dua dan berdesak-desakan harus pintar-pintar mencari ruang sekedar untuk merebahkan tubuh. Entah kenapa, akhir-akhir ini seperti ada yang selalu menggangu tidurku. Seperti kali ini, aku terbangun dan menatap sekeliling semua masih terlelap. Sepertinya insomniaku makin parah. Kulihat masih pukul dua dinihari. Dengan alasan untuk mencari udara segar aku menuju ke lantai atas. Satu-satunya jalan menuju lantai atas adalah melalui sebuah tangga yang terbuat dari besi yang sudah sangat rapuh. Tiap kali kuinjak anak tangganya selalu berbunyi “kreek”. Yang kumaksud dengan lantai atas adalah sebuah tempat tanpa atap yang sekelilingnya dijaga oleh pembatas yang terbuat dari kawat. Tempat ini lebih sering digunakan untuk mencuci pakaian dan menjemurnya sekaligus. Udara malam Jakarta langsung menyambutku. Kuhirup pelan-pelan udara yang banyak mengandung racun. Bukan hanya polusi tapi juga keegoisan yang menyesakkan dada.
Kubagikan pandanganku ke sekitar. Lampu-lampu gedung yang tak pernah mati, mobil-mobil yang tak pernah berhenti dan masih banyak orang yang terjaga. Jakarta memang tak pernah tertidur. Tapi sejak pindah kesini pandanganku selalu tertarik pada sebuah apartemen mewah yang tepat di samping kontrakan ini. Menjadi semacam tempat perbandingan bagi kami. Tiap malam kami sering mencuri lihat dari jendela apartemen yang terbuka bagaimana cara penghuninya mengisi perut. Semuanya rapi, elegan dan mewah. Sebotol wine dan berbagai makanan asing yang tak pernah mampir di mulut kami selalu tersaji di meja makan. Semuanya berkelas dan penuh etika tidak seperti kami yang lebih mirip serigala saat mengisi perut. Maka seperti kutemukan sebuah paradoks. Dan, kami bagai venus yang dingin yang selalu menatap iri pada bumi yang hangat. Hingga suatu ketika ada salah satu teman yang menyeletuk “Tuhan tidak adil ya?”
Semuanya terdiam, entah karena setuju atau bingung. Sementara aku berada dalam kelompok orang yang bingung. Bukan dalam masalah substansi pertanyaanya tapi dalam masalah “Tuhan”nya. Namun aku bukanlah dalam golongan manusia yang tidak percaya pada keeksistensian Tuhan. Mental yang sejak dini dibentuk dengan agama seperti mengaji walau sering bolos, mengerjakan sholat walau lebih sering absen. Tetap membuatku percaya ada sesuatu yang mengatur segala kerumitan konstelasi-konstelasi seluruh galaksi ini. Namun sampai sekarang aku belum menemukan intisari dari pertanyaan “Apa itu Tuhan?”
Banyak yang bilang “Jika kita menemukan cinta maka kita akan menemukan Tuhan”
Aku kembali berpikir, lalu apa itu Tuhan? apa itu cinta?. Jadi saat kita menemukan salah satu maka kita akan mendapatkan keduanya sekaligus. Aku tidak berhenti berpikir. Apakah mungkin cinta dan Tuhan itu seperti mata koin? mereka bersifat tunggal, satu. Satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Mungkinkah mereka saling terikat dan mengikat? lalu seperti sebuah pepatah lama: satu jawaban akan memunculkan seribu pertanyaan. Pernyataan tentang cinta dan Tuhan apakah diperuntukan untuk semua golongan? termasuk kaum h*mos*ksual ataupun le*bian? apakah saat mereka menemukan “cinta” versi mereka mungkinkah mereka juga telah menemukan Tuhan?
Aku menghela nafas. Benang ini makin mengusut. Ketika ruang pertanyaan ini sedikit dimasuki cahaya jawaban hanya membuat kabut gelap makin pekat. Semua runyam dan rumit. Masalah Tuhan memang bukan masalh sederhana. Kita sedang membicarakan penggerak milyaran partikel di alam semesta ini. Otak manusia yang hanya seukuran batok kelapa itu mungkin masih butuh waktu panjang untuk menggapainya. Hati ini terasa makin berat ada sesuatu yang mengganjal disana. Refleks aku menatap ke langit. Mungkinkah dia bersemayam disana? Langit malam menatapku dengan angkuh. Puluhan bintang yang ia sebar sekenanya menjadi pelengkap kesombongannya. Sepertinya ia tak ingin membagi tahu rahasia Tuhan yang sudah jutaan tahun ia simpan rapat di lembar-lembar awannya. Entah mengapa, jika mengingat tentang Tuhan aku mengingat salah satu temanku. Label “teman” yang kuberikan padanya hanya karena salah satu temanku yang lain pernah mengenalkan aku padanya dan kami setidaknya pernah mengobrol. Dia adalah wanita karir yang sukses dengan usianya yang masih sangat muda. Pekerjaannya di salah satu perusahaan asuransi besar menuntutnya untuk selalu tampil prima sehingga kesan perfeksioin tergambar dalam tindakannya. Dan tiap kali aku ngobrol dengan Lestari begitu dia ingin disebut. Entah kenapa aku diserang gejala minder yang hebat. Auranya yang kuat selalu berhasil mengintimidasiku. Bagai dinosaurus dan semut. Dengan tahu diri aku selalu menjaga jarak dengannya takut bila dia pingsan mencium bau kemelaratan dariku. Segala tentang Lestari selalu menarik tapi hal yang paling menarik darinya adalah pilihannya untuk berpindah agama bukan hanya sekali tapi sudah empat kali. Pernah dengan memberanikan diri aku bertanya tentang hal itu.
“Lestari maaf sebelumnya. Menurut kamu Tuhan itu apa?” yang sebenarnya ingin kutanyakan adalah mengapa dia bisa mudah saja berpindah haluan agama sampai empat kali.
“Ahh… apa yang bisa kubagikan padamu kawan” hatiku langsung mekar hanya karena dia menyebutku kawan.
“Hubungan manusia dengan Tuhan itu sangat intim. Begitu banyak cinta, begitu banyak rahasia. Tak ada yang bisa kau berikan padanya selain rasa percaya. Keintiman itu bahkan melebihi hubungan Adam dan Hawa”
Aku terpana
“Jika kau bertanya padaku tentang apa itu Tuhan? Tuhan itu apa yang bisa kau lihat, apa yang bisa kau dengar, apa yang bisa kau yakini dan apa yang bisa kau rasa. Sebenarnya Tuhan itu berjalan bersama kita, melihat apa yang kita lihat, mendengar apa yang kita dengar dan merasa apa yang kita rasa. Bahkan Tuhan itu lebih dekat daripada urat nadi. Tuhan itu mencakup segala sesuatu yang dapat terlihat maupun tidak. Apakah kau mengerti?”
Aku mengganguk saja walaupun kalimat-kalimat penuh makna itu terlalu sesak untuk bisa masuk semuanya di kantong intelejensiaku yang terbatas.
“Tapi ingat kawan, penjelasan bukanlah seperti pengalaman. Aku bisa berkata apa saja tapi jika kau tidak pernah mengalaminya sendiri jangan pernah percaya! Aku menjawab pertanyaanmu sesuai pengalamanku” mata lestari makin berbinar ketika menjelaskannya.
Aku tahu pengalaman apa yang telah ia lewati untuk menemui hakikat Tuhan. Walaupun sebenarnya aku juga mendengar kabar ini dari teman yang lain. Dia pernah berkunjung ke Bali, Aceh, Thailand bahkan juga Vatikan untuk menyelesuri berbagai agama. Untuk bertegur sapa dengan Tuhan. Dia bukan manusia yang menerima begitu saja apa yang sudah “ditumpahkan” ketika lahir. Dia lebih memilih tersesat daripada menerima keadaan begitu saja. Aku makin tertarik dan penasaran.
“Jadi kamu percaya Tuhan itu ada?”
“Pertanyaan seperti itu hanya melecehkan keeksistensian Tuhan yang agung”
Ada sesuatu kekuatan misterius yang meletup-meletup ketika Lestari bicara. Aku tak tahu itu apa.
“Itu alasan kamu pindah agama?” kusuguhkan pertanyaan yang sejak tadi kuburamkan.
Keningnya tiba-tiba mengkerut. Mungkin pertanyaan itu tidak terlalu etis kutanyakan sebagai teman yang baru kenal.
“Maaf…” sergahku langsung
“Tak mengapa. Kau bukan orang pertama yang bertanya seperti itu” Lestari menarik nafas sebentar. Mengumpulkan jutaan bintang gemintang makna yang tersimpan di kepala dan hatinya.
“Seperti yang kubilang, hubungan manusia dengan Tuhan itu sangat intim. Seperti aku. Kedekatan antar manusia dengan Tuhannya itu relatif, beda satu sama lain. Kau tidak bisa mengsamaratakan intensitas kedekatan tiap manusia dengan Tuhannya harus sama dengan tiap manusia lainnya. Bentuk kedekatan itu, keintiman, percaya, cinta dan pengabdian yang diberi label berbeda-beda tiap manusia tergantung bagaimana mereka mengintrepresentasikan dari intensitas itu adalah definisi agama bagiku”
Mendengarnya kepalaku mendadak pening.
“Dan juga agama adalah sebuah perjalanan bagiku. Saat kau lahir kau diberikan kaki untuk memulai perjalanan lalu karena perjalanannya masih jau kau menggunakan sepeda. Di tengah jalan ternyata ada sungai. Kau tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan sepeda kan? Akhirnya kau meletakan sepedamu untuk menggantinya dengan rakit atau perahu”
Aku sedikit paham maksud Lestari. Dia menganalogikan keputusannya untuk pindah agama sebagai perjalanan hidup yang tak mungkin bisa dihindari.
“Jika suatu saat nanti kau telah sampai di tujuan. Apakah mungkin kau melupakan mereka? Tidak kan? Mereka juga yang telah membantumu pelan-pelan untuk sampai di tujuan. Menemukan hakikat hidupmu”
Aku merasa ciut. Aura milik Lestari benar-benar mampu menenggelamkan apapun di sekelilingnya.
“Tapi ingat! Jangan pernah percaya kata-kataku jika kau tidak mengalaminya sendiri”
Aku mengganguk-angguk dengan cepat seperti burung beo. Lestari tetaplah Lestari. Selain cantik dia mungkin adalah wanita langka yang dilahirkan seribu tahun sekali. Lepas dari itu semua dia tetap wanita menarik dalam segala hal terutama kepribadiannya. Dan kudengar kini dia telah menjadi penganut agama Budha. Satu hal yang bisa kutarik kesimpulannya dari semua obrolanku dengan Lestari adalah: yang pasti dia lebih wangi dariku. Kurapatkan tubuh ini untuk bersandar di kawat-kawat pembatas lantai atas ini. Pagi masih enggan untuk datang. Langit Jakarta masih saja gelap seperti kepalaku yang disesaki berbagai pertanyaan. Andai saja ada Lestari disini. Aku ingin menanyakan sesuatu yang belum sempat kupertanyakan waktu itu
“Apa itu cinta?”
Imajinasiku kemudian bekerja. Pasti Lestari akan menjawabnya dengan letupan-letupan imajinasinya yang melimpah yang maknanya akan bertaburan seperti bintang yang harus kutangkap satu demi satu dengan cepat agar tidak ada makna yang terlewat lalu kumasukan dalam kantong intelejensia dan kenanganku. Lestari telah menjadi orang yang bijak di usianya yang masih muda. Namun pertanyaan tentang apa itu cinta dan Tuhan masih mengambang di kepalaku. Aku jadi teringat akan sesuatu yang banyak menjadi inspirasi film, buku, novel atau sinetron. Cinta beda agama. Entah betapa banyak hati manusia yang nelangsa akibat cinta beda agama, beda iman. Terlalu banyak pertentangan hanya untuk mempersatukan dua sejoli ini. Cintamu dan cintaku adalah sama namun Tuhanmu dan Tuhanku adalah beda. Kalimat itulah yang mengiris-iris hati para pelakunya. Di satu sisi mereka tidak ingin meninggalkan Tuhan dalam sisi yang lain mereka juga tidak ingin meninggalkan cinta. Mereka tidak bisa mendapatkan keduanya sekaligus. Mereka harus memilih salah satu. Ditinggalkan Tuhan atau ditinggalkan cinta. Kedua pilihan bagai simalakama. Maka kenyataan ini berbanding terbalik dengan analogi Tuhan dan cinta itu seperti koin. Ternyata mereka beda, mereka tidak satu. Merka seakan berdiri masing-masing. Kenyataan ini membuat lidahku terasa pahit. Ternyata cinta dan iman adalah beda rasa. Menganalogikakannya dengan suatu bentuk tunggal mungkinkah sebuah kesalahan?
Ternyata benar, dunia ini lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Satu jawaban hanya akan menarik berbagai benang gelap pertanyaan untuk muncul ke permukaan. Dunia bukan hanya diisi hitam dan putih tapi juga abu-abu yaitu sisi dimana semuanya masih buram, tidak jelas, tidak pasti dan kompleks. Tuhan dan cinta sepertinya berdiri di sisi itu. Aku yang selalu dipenuhi kluputan mencoba sedikit bijak. Bahwa segala sesuatu tidak pernah diciptakan mubazir. Bukan hanya sisi putih tapi dunia tetap juga membutuhkan sisi hitam dan abu-abu. Untuk menjaga kerasionalitasan manusia agar manusia tidak berhenti mencari karena kebenaran yang tunggal hanya milikNya. Agar manusia tidak hanya menjadi seonggok daging tanpa arti. Bukankah dengan memakan buah khuldi akhirnya Adam dan Hawa bisa membedakan mana baik dan buruk. Segala sesuatu saling bersangkut paut. Baik itu baik, buruk atau masih belum jelas. Segala sesuatunya memang diciptakan Tuhan begini adanya. Dengan segala kerumitannya, hitungannya dan tingkat kemisteriusan yang selalu dijaga oleh Tuhan agar manusia tahu betapa lemahnya mereka. Sehingga apapun yang manusia ubah, mereka capai dan mereka temukan tetap belum bisa menyingkap kabut milik cinta dan Tuhan. Hidup dan nasib memang fantastis dan sporadis. Menerima itu semua berarti kita juga menerima “ketidak jelasan” Tuhan. Menerima kenyataan cinta dan Tuhan adalah pertanyaan dengan pangkal tanpa ujung yang jelas.
Aku menghela nafas lagi. Membiarkan beban hidupku ikut lepas. Akhirnya aku mencoba larut dalam pasrah. Biarkan semua terjadi sesuai dengan kehendak Nya. Tak usah aku terburu-buru menyingkap misteri hidupku. Biarkan semua mengalir. Segala sesuatu yang belum waktunya hanya akan menimbulkan jawaban yang sembrono.
Perlahan suara adzan Subuh terdengar sayup-sayup membelai kota Jakarta. Ternyata aku sudah melamun berjam-jam untuk memikirkan arti cinta dan Tuhan. Dengan hasil kosong. Tapi entah kenapa aku merasa telah menemukan jawabannya. Jawaban itu hanya bisa dimengerti olh hati dan logika tidak pernah bisa ikut campur. Mataku menatap langit dan seakan juga sedang menatap mata Nya. Hatiku berbisik lirih “Terima kasih Tuhan”
Telah kuhabiskan sepotong malam untuk menemukan hakikat cinta dan Tuhan namun sepertinya waktu seumur hidup pun tidak akan cukup untuk menjabarkannya. Jadi kupersembahkan sepotong malam tadi untuk cinta dan Tuhan. Untuk mereka yang membuat hidup umat manusia jadi lebih berarti. Aku hanya bisa menarik sedikit benang kesimpulan. Jikalau cinta dan Tuhan memang menjaga keeksistensian dan keindahanya yang agung dalam nur yang disebut misteri.

Cerpen Karangan: R.A.P
Facebook: www.facebook.com/agung.c.sum

0 komentar:

Posting Komentar

 photo tyuuu_zpsc6ef6817.jpeg"/>" /> KPA photo 10169318_1490733947824313_8365615283135808455_n_zps90846386.jpg" /> Ame Mayday photo 20140502_110353_zpscef26929.jpg" /> gpmd photo 1012032_1446233695607672_1066147129_n_zps3f4d6c09.jpg" />  photo nbv_zpsc8429ade.jpg"/>" /> gpmd4 photo 1491_678730012152865_1221172235_n_zps4dfde858.jpg"/>" /> gpmd3 photo 1491_678730012152865_1221172235_n-Salin_zpsf038dc5f.jpg"/>" /> gpmd2 photo 1491_678730012152865_1221172235_n-Salin-Salin_zps3b3d0b92.jpg"/>" />  photo --9-98-89-98-967_zpsb0261f2e.jpeg"/>"/>" />