Kaum Muda Dan Marxisme
Sumber: Militan Indonesia
Kapitalisme
yang dalam tahapan tertingginya yakni Imperialisme telah menghancurkan
seluruh pengharapan tidak hanya bagi rakyat pekerja secara umum, namun
juga lapisan-lapisan rakyat lain termasuk juga kaum muda. Pengangguran,
kemiskinan, kelaparan adalah hasil dari tak terelakkan dari sistem ini.
Kita dapat menjumpai di sekeliling kita, bahwa kemajuan teknologi,
pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang megah dan mewah, serta
kemajuan di bidang-bidang yang lain – yang tidak pernah nampak di dalam
masyarakat-masyarakat sebelumnya – bersanding bersama kemiskinan dari
mayoritas luas rakyat pekerja.
Mudah saja untuk mengidentifikasikan sistem ini. Cukup dengan
mempertanyakan, bagaimana bisa teknologi yang begitu maju sekarang; yang
mampu menciptakan barang-barang kebutuhan dalam waktu sekejab,
menciptakan berjubel-jubel barang kebutuhan masyarakat yang begitu
bertumpah ruah; mampu membuat miskin kelas mayoritas yang memproduksi
barang tersebut? Jawabanya adalah satu: yakni kelas yang memproduksi
barang tersebut tidak memiliki hak atas alat produksi yang dalam sistem
kapitalisme dimiliki oleh segelintir kelas minoritas, yakni kelas
borjuis.
Marxisme melakukan pendekatan bahwa sistem kapitalisme saat ini ada
dalam pertentangan kelas antara kelas yang terhisap, yaitu proletariat
dan kelas penghisap, yaitu borjuasi, yang satu sama lain saling
membinasakan. Namun, karena borjuasi telah memenangkan pertarungan kelas
di dalam masyarakat sebelumnya melawan tuan tanah feodal, maka kita
bisa saksikan kemenangan mereka atas feodalisme berarti juga kemenangan
kapitalisme. Seperti halnya feodalisme yang melahirkan kelas borjuasi
sebagai pemenang, begitu pula di dalam sistem kapitalisme, kelas
borjuasi menghadapi kelas yang akan memenangkan pertarungan ini, yaitu
kelas proletariat.
Setelah itu, kelas proletariat yang meraih kemenangannya atas
borjuasi tidak perlu lagi menindas kelas di bawahnya – juga hal ini
tidak lagi diperlukan – maka tugas perjuangan pembebasan proletariat
melawan borjuasi berarti juga pembebasan manusia secara keseluruhan dari
kemiskinan, pengangguran, kelaparan yang selama ini menjadi kenyataan
yang menakutkan di dalam sistem kapitalisme.
Lantas, bagaimana kaum muda menemui tempatnya dalam perjuangan ini?
Kaum muda adalah lapisan yang paling sensitif atas
ketegangan-ketegangan sosial yang berlangsung di dalam masyarakat.
Beberapa peristiwa memperkuat pernyataan ini. Di Perncis, pada tahun
1968, ketika demonstrasi-demonstrasi di kampus kemudian menyebar menjadi
sebuah demonstrasi umum. Lapisan kaum muda yang dikecewakan dengan
kebijakan penutupan kampus lalu menyulut api pemogokan di pabrik-pabrik
dan dalam waktu sekejap mengubah kota-kota di Prancis menjadi lautan
massa. Demonstrasi kampus yang berubah menjadi pemogokan massa ini
menjadi ancaman bagi rezim yang berkuasa saat itu.
Lalu, di Indonesia, pada krisis 1998, kaum muda adalah barisan
terdepan di dalam demonstrasi-demonstrasi menentang kenaikan harga-harga
kebutuhan. Krisis itu kemudian memantik insting revolusioner kelas
buruh. Merespons ini, kelas buruh melakukan pemogokan-pemogokan di
pabrik-pabrik serta memberikan dukungan terhadap aksi-aksi yang
dilancarkan oleh mahasiswa; memberikan karakter demonstrasi ini karakter
revolusioner.
Bahkan di Rusia, pada periode 1860-70-an keresahan masyarakat
ditampilkan di dalam gerakan Turun ke Bawah oleh beberapa kaum muda yang
tergabung di dalam Narodnik. Seperti digambarkan di dalam buku, Bolshevisme, Jalan Menuju Revolusi, Trotsky dan Pavel Axelrod memberikan komentarnya:
“Para muda dan mudi, kebanyakan dari mereka adalah mantan pelajar,
dalam jumlah ribuan berangkat ke seluruh penjuru Rusia untuk mewartakan
propaganda sosialis, terutama ke pedalaman Volga di mana mereka
mencari-cari legenda pemberontakan Pugachov dan Razin.”
“Gerakan ini,” Axelrod melanjutkan, “yang luar biasa dalam skalanya
dan penuh dengan idealisme kaum muda, yang merupakan awal dari revolusi
Rusia, sangatlah naif. Para propagandis tidak punya organisasi yang
memandunya. Mereka juga tidak punya program yang jelas. Mereka tidak
punya pengalaman melakukan gerakan bawah tanah. Dan ini tidak bisa
tidak. Anak-anak muda ini, yang telah memutuskan hubungan mereka dengan
keluarga dan sekolah mereka, yang tidak punya profesi, hubungan pribadi,
tanggung jawab, ataupun rasa takut terhadap yang berkuasa, tampak
seperti kristalisasi hidup dari pemberontakan popular. Konstitusi?
Parlementerisme? Kebebasan politik? Tidak, mereka tidak akan tergoyahkan
dari jalan perjuangan mereka oleh jebakan-jebakan Barat ini. Yang
mereka inginkan adalah revolusi total, tanpa jembatan atau
tahapan-tahapan.”
Meskipun kaum muda terutama mahasiswa adalah barometer aktif dari
ketegangan sosial yang berkembang di dalam masyarakat, kemampuan kaum
muda ini untuk memainkan peran sosial yang mandiri juga tidak lebih
daripada kaum tani. Gerakan ini sering kali muncul ketika kelas borjuasi
dengan keras kepala menolak mengatasi persoalan-persoalan yang timbul
dari krisis masyarakat borjuis, sementara kelas proletariat terlalu
lemah mengambil kepemimpinan.
Selama gerakan ini tidak mengusik sendi-sendi masyarakat kapitalis,
kelas borjuasi masih bisa bersikap tenang."Kaum borjuis menghargai
gerakan mahasiswa dengan setengah setuju, setengah memperingatkan; kalau
para pemuda mengadakan sedikit guncangan terhadap birokrasi monarkis,
hal itu tidak terlalu jelek, selama 'anak-anak itu' tidak bergerak
terlalu jauh dan tidak membangkitkan perjuangan keras dari massa.”
(Trotsky, Revolusi Spanyol 1931-39). Itulah mengapa di dalam
sejarah-sejarah besar, gerakan ini memperoleh karakter revolusionernya
dan mengancam keberadaan kelas penguasa ketika kelas buruh
berpartisipasi di dalamnya.
Krisis revolusioner yang mentransformasi dirinya menjadi revolusi
membutuhkan sebuah kepemimpinan dan program yang tepat. Kaum muda
mahasiswa yang basis kelasnya borjuasi kecil tidak mampu melakukan ini
dan hanya kelas buruh yang memimpin di bawahnya lapisan sosial lain
(kaum tani, mahasiswa dan kaum tertindas lain) mampu membawa revolusi
ini pada hasil akhirnya, yaitu: merebut tuas-tuas kendali ekonomi di
bawah kontrolnya atau dengan kata lain sosialisme.
Untuk memimpin jalannya peristiwa ini dibutuhkan sebuah partai buruh
massa revolusioner yang sudah jauh-jauh hari telah mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi momen tersebut. Partai ini, yang berlandaskan
Marxisme, akan membawa kemenangan telak perebutan kekuasaan oleh buruh
atas kelas borjuasi seperti halnya keberhasilan Revolusi Oktober 1917 di
Rusia. Namun, keberhasilan Revolusi Oktober tidak dibangun dalam waktu
sekejap. Ia melewati martir-martir kaum muda revolusioner pada 1860-an
untuk sampai pada gagasan Marxisme. Ia berkembang dan memperoleh
pengejawantahannya di dalam partai Bolshevik yang memimpin keberhasilan
revolusi.
Sekarang, kaum muda Indonesia tidak harus melalui bertahun-tahun
untuk sampai kepada Marxisme seperti halnya di Rusia. Tidak pula harus
melewati periode Turun ke Bawah dan berdandan ala Muzhik, petani Rusia.
Kaum muda harus mengatakan, bahwa: cukup sudah berlarian dari satu
kampanye ke kampanye lain. Kita harus mengakhiri aktivisme ini bila kita
ingin menang. Sudah saatnya kita membangun partai Bolshevik; merebut
kekuasaan dari tangan borjuasi, meletakkan kekuasaan di tangan kaum
buruh, dan ini berarti sosialisme. Dan kami, Militan Indonesia, tidak
malu-malu untuk mengakui bahwa kami berdiri di sepanjang garis yang
dicapai oleh Revolusi Oktober; bahwa kami berdiri untuk Marxisme
Revolusioner; berdiri di bawah panji Bolshevisme dan perjuangan kaum
buruh sedunia. Maka dengan itu kami menyerukan kepada kaum buruh dan
muda revolusioner bergabung dengan kami.
22 Agustus 2014
Minggu, 07 September 2014
Kaum Muda Dan Marxisme
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar